Melihat Tinju Adat Di Kampung Raja Natalea, Kabupaten Nagekeo, NTT

Oleh, Anna Nenu Tina, Mahasiswa STIPAR Ende
Upacara etu (tinju adat-red) merupakan sebuah atraksi budaya sebagai salah satu rangkaian acara adat untuk memperingati hari menanam hingga panen kebun dan juga biasa di bilang sebagai upacara rasa persaudaraan antar sesama.
Selain itu juga Etu merupakan bagian integral dalam rangkaian adat Nagekeo secara khusus di Kampung Raja Natalea.
Hal ini dikatakan Anis Amekae selaku Mosalaki (Tokoh adat-red) di kampung tersebut saat di wawancarai Kamis, 23 Januari 2025.

Etu biasanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu sesuai kalender adat dan bulan tersebut merupakan bulan memanen.
“ Biasanya di kampung kami upacara ini di laksanakan pada bulan juli atau Juni dan untuk tanggal nya kadang bisa berubah-ubah dalam melaksanakan upacara ini setiap tahunnya, dan Etu wajib dilaksanakan di kisa nata (alun-alun), rumah adat (sa`o waja) yang merupakan pusat dari aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat,”kata Anis.
Di tengah –tengah Kisa Nata itu terdapat tugu kayu bercabang dua yang dipahcang di atas batu bersusun (peo) yang melambangkan persatuan dan persekutuan masyarakat, ujar Anis.
Anis Amekae mengatakan bahwa sebelum dilaksanakan upacara tinju adat masyarakat di kampung tersebut harus melewati ritual adat makan kose ( makan nasi bambu yang di bakar) yang di laksanakan di tempat tertentu pada pagi hari guna meminta restu arwah leluhur untuk kelancaran acara dan kehidupan selanjutnya yang di pimpin langsung oleh toko adat.
Dikatakan setelah melewati upacara ini sore sekitar pukul 15.00 Wita lalu dilaksanakan tinju adat , upacara tinju ini di laksanakan selama dua hari dan hari pertama tinju untuk anak kecil dan hari ke dua tinju untuk orang dewasa yang dimana yang boleh mengikuti Tinju Adat (Etu) ini khusus untuk laki-laki saja.
Para petarung menggunakan sebuah benda keras dari kayu (pohon enau) yang dibuat membulat dan sejengkal panjang . Alat yang dijadikan senjata itu selalu tergenggam erat di tangan mereka yang di sebut Li’e Woe dan mereka hanya boleh memukul menggunakan satu tangan, sementara tangan yang lainnya untuk menangkis serangan.
Anis mengatakan kalau dalam pertandingan atau bertarung ada yang terluka , berdarah atau jatuh biasanya mereka akan kembali disembuhkan melalui ritual adat khusus pada hari ketiga atau terakhir yang dinamakan “ Zoka” yang dilakukan oleh para tokoh adat dari suku Gajah yang ada di Kampung Natalea.
Dan pada akhir pertandingan para petarung kembali berpelukan dan berdamai serta melambaikan tangan kepada penonton sebagai ungkapan rasa terimakasih atas dukungannya.
Hal ini melambangkan sikap atau symbol perdamaian, perasaudaraan, dan persatuan. Etu atau tinju adat adalah murni bagian adat untuk mempersatukan masyarakat.
“ Dalam bertarung para petarung harus bersikap sesuai aturan yang dimana aturan tersebut lebih menjunjung sportifitas ( jangan maki, di larang main kaki, atau sikap yang membuat kekacauan),” kata Rion salah satu petarung dalam upacara tinju adat ini.