Gereja Yang Mendengarkan: Kisah Ismael Di Teras Rumah Uskup Budi

Oleh,Pater Charles Beraf SVD, Pastor Paroki Roh Kudus Detukeli
Sesaat sebelum memasuki Istana Uskup di Ndona pada 10 Agustus 2024, Mgr. Paulus Budi Kleden, SVD disapa hangat oleh Bapak Ismael – tokoh muslim dari Ndona.
Pada akhir sambutannya, Mgr. Budi, dalam perayaan tahbisannya sebagai uskup Keuskupan Agung Ende pada 22 Agustus 2024 di Gereja Katedral Ende, mengutip kata-kata Bapak Ismael “Tinggal di sini dengan jiwa yang tenang”.
Bapak Ismael adalah seorang Muslim, yang tentu tahu bahwa ia sedang menyapa seorang tokoh, pemimpin umat Katolik gereja Keuskupan Agung Ende.
Mgr. Budi pun tentu tahu bahwa kata-kata hangat yang dikutipnya terbersit dari ungkapan hati seorang muslim, ya dari Bapak Ismael.
Mengutip pendapat adalah perkara yang sangat biasa. Namun ketika latar dan ketokohan Bapak Ismael dan Mgr. Budi coba sama-sama disandingkan, maka perkara mengutip bukan lagi hal biasa.
Bapak Ismael dan Mgr. Budi bahkan sama – sama sedang melampaui ‘dunia’ mereka sendiri, dan akhirnya bertemu dalam kasih persaudaraan yang sangat hangat.
Baik Bapak Ismael maupun Mgr. Budi, sama – sama seolah sedang menyambungkan benang yang putus di masa lalu antara dua kekasih Abraham: Sara dan Hagar, antara dua buah hati Abraham: Ishak dan Ismael.
Ya, menyambungkan benang yang putus di tengah carut – marut kepentingan partisan, di tengah godaan untuk memandang agama atau pun suku yang lain sebagai ‘yang lain’.
Penyambungan ala Bapak Ismael dan Mgr. Budi menjadi gambaran betapa kasih persaudaraan adalah imperatif, atau lebih tepat keutamaan menuju bonum commune atau bonum publicum.
Hal itu diungkapkan Mgr. Budi dengan analogi ‘anggota tubuh”: telinga yang sedia mendengarkan, tangan yang sedia bergandeng dengan tangan yang lain, dan kaki yang sedia melangkah bersama-sama.
Kalau keduanya, Bapak Ismael dan Mgr. Budi sudah, sedang dan terus menyambungkan yang putus, maka sebenarnya tidak akan ada alasan yang cukup bagi ‘ismael-ismael’ dan ‘ishak-ishak’ lain untuk terbelah dalam, misalnya politik identitas yang keruh dan tak berdasar atau misalnya juga dalam tetek bengek kepentingan ‘ini mayoritas’ atau ‘itu minoritas’.
Sebaliknya, dengan penyambungan ala Ismael dan Mgr. Budi, semua kita malah perlu dan terus mafhum bahwa kita adalah anak-anak dari bapa yang satu dan sama: Abraham, yang mesti terus disatukan untuk mewujudkan bonum publicum, meski dari dan dengan jalan tempuh yang saling berbeda.
Konflik politis atau peperangan antarnegara kerapkali tak kunjung selesai karena orang masih kokoh berdiri dengan pandangan dan dunianya sendiri tanpa bersedia melampui dunianya untuk melihat yang lain sebagai saudara.
Berani melampaui identitas sendiri dan menaruh perhatian pada perkara bersama seperti ini, oleh August Comte, sosiolog kawakan itu, dimaknai sebagai spirit altruisme – spirit yang menjadikan yang lain sebagai bagian dari diri kita sendiri atau boleh dikata, spirit untuk tetap mempertimbangkan kehadiran yang lain serupa atau sebagai kehadiran diri sendiri.
Atau dalam bahasa filsuf dan pelukis Vincent Van Gogh, “kepedulian”. Gogh, dengan mengambil kisah injil tentang perumpamaan Si Samaritan yang baik hati dalam lukisannya, menunjukkan bahwa kepedulian kepada sesama adalah hakekat kasih persaudaraan, inti dari kasih sayang, sebagaimana tersurat dan tersirat dalam moto epsikopal Mgr. Budi: Caritas Fraternitatis Maneat in Vobis.
Kepedulian ini, menurut teolog Wayne Whitson Floyd, berproses seperti ini, misalnya ketika berhadapan dengan realitas penderitaan: (1) disposisi solidaritas terhadap penderitaan sesama; (2) memasuki konteks penderitaan itu sebagai penderitaan sendiri; dan (3) komitmen untuk mengatasi penyebab penderitaan itu sendiri.
Proses ini, menurut hemat saya, telah mulai dicanangkan oleh Bapak Ismael sesaat sebelum Mgr. Budi memasuki istana Uskup dan diperdengarkan Mgr. Budi dalam akhir sambutannya, yang menunjukkan betapa sapaan Bapak Ismael di teras istana Uskup Budi adalah “SESUATU”. Tepukan tangan apresiasi, baik terhadap Bapak Ismael maupun terhadap Mgr. Budi, menurut saya, belum menjadi “SESUATU”.
Tepukan tangan mesti mewujud kemudian dalam COMPASSIO, dalam kepedulian, dalam kesediaan untuk melampaui dan mempertimbangkan kehadiran yang lain sebagai bagian dari satu bapak yang sama: ABRAHAM.
Terima kasih Bapak Ismael. Terima kasih Mgr. Budi. Di teras rumah Mgr. Budi dan dari mimbar Katedral, telah tersingkap apa yang seharusnya bagi gereja, pun bagi kita sekalian.
Semoga Mgr. Budi tinggal di rumah besar Ndona dengan jiwa yang tenang, karena sungguh melihat dan mengalami gereja yang juga terus berani melampaui dirinya sendiri dan memelihara kasih persaudaraan dengan yang lain, berjumpa dengan hidup banyak orang, hidup dan perjuangan Ismael yang lain.
Dan semoga Gereja Keuskupan Ende sungguh menjadi Gereja yang mendengarkan yang lain, gereja yang sungguh mengukir sejarah ‘mendengarkan’ dari rahim kota sejarah (Kota Pancasila)
Akhirnya, Selamat atas tahbisan Mgr. Budi.