Kurang Tepat, Hindia Belanda Rampok Tanah Hak Ulayat Tana Ai
MAUMERE, GlobalFlores.com – Pernyataan bahwa Hindia Belanda merampok tanah hak ulayat Tana Ai, seperti yang dsampaikan warga masyarakat Tana ai saat dengar pendapat bersama DPRD Sikka, Jumat (10/6/2022) lalu dinilai tidak tepat.
Hal ini disampaikan Dosen Universitas Surabaya (Ubaya) Marianus Gaharpung SH, Minggu (12/6/2022) di Maumere.
Marinus yang mengaku tidak mengikuti langsung rapat dengar pendapat DPRD Sikka dengan warga Tana Ai, Jumat (10/6/22), soal Hak Guna Usaha ( HGU).
Namun demikian bagaimana sejatinya tanah hak ulayat masyarakat Tana Ai yang saat ini menjadi HGU. Setelah membaca media online dengan judul, Hindia Belanda merampok tanah Hak ulayat Tana Ai, menggugah dirinya untuk memberikan pemikiran dengan tidak memihak kepada siapapun
Menrut Marianus, negara sebagai institusi publik yang mengatur tatanan bernegara dan bermasyarakat, dipastikan semua tindakan faktual atau keputusan tata usaha negara yang dibuat oleh Badan tata Usaha Negara semua menggunakan bukti-bukti akurat yang merupakan dasar hukum dan tidak melanggar asas-asas umum pemerintahan yang baik.
“Berkaitan dengan tanah masyarakat adat Tanah Air dikatakan dirampok oleh Hindia Belanda kami pribadi sangat tidak setuju dengan penggunakan terminologi rampok tersebut karena sangat kasar padahal pada zaman itu kita semua termasuk yang hadir rapat dengar pendapat dengan DPRD Sikka belum lahir dan tidak tahu ratio legis (rasio hukum) bagaimana tanah tanah tersebut sampai dikuasai dan dikerjakan oleh Belanda,”kata Marianus.
Marianus bahkan mempertanyakan, apakah ketika Belanda masuk ke wilayah Tana Ai, masyarakat adatnya sudah ada secara turun temurun, atau mereka datang dari mana-mana lalu menetap di Tana Ai, atau mungkin sebagai pekerja di tanah yang dikuasai Belanda. Makanya Belanda menerapkan konsep Domein Verklaring yang ada dimasa kolonial Belanda tahun 1870 – 1888.
Marianus menanbahkan bahwa semua tanah yang tidak dapat dibuktikan diatasnya, ada hak eigendom termasuk hak-hak warga masyarakat adalah domein negara.
Dengan demikian lanjut Marianus tanah yang tidak ada sertifikatnya akan dinyatakan sebagai domain negara.
Dengan lahirnya Undang Undang No.5 Tahun 1960 tentang Pertanahan kata Marianus, maka tanah tanah pada zaman Hindia Belanda atau pendudukan Belanda di Indonesia yang status eigendom menjadi hak milik, hak erfpacht menjadi hak guna usaha dan hak opstal adalah hak guna bangunan.
“Dengan lahirnya konsep Landreform adalah perombakan dalam penguasaan yang dimiliki kaum feodal, tuan tanah yang berhektar hektar direform (ditata kembali) kepemilikan tanah, khususnya dalam kaitannya redistribusi tanah yang bertujuan untuk mencapai pemerataan dalam pembangunan pertanian,”kata Marianus.
Dulunya lanjut Marianus, warga masyarakat sebagai pekerja di perkebunan milik kaum feodal atau tuan tuan tanah lalu dibagi bagi kepada warga demi terwujudnya kesejahteraan warga masyarakat Indonesia.
Menurut Marianus, tanah hak ulayat di Tanah Ai, ketika zaman pendudukan Belanda di Indonesia termasuk di Maumere ketika itu mungkin (warga Tanah Ai red ) tidak dapat membuktikan hak kepemilikannya, maka oleh Hindia Belanda diubah menjadi hak Erfpacht yang dengan UU Agraria disebut dengan HGU yang merupakan status tanah negara dan bagi badan hukum berupa Peseroan Terbatas, Yayasan termasuk Misi (Gereja red) berhak mengajukan kepada negara untuk membuka usaha atas tanah itu dengan status HGU.
“Ketika zaman Hindia Belanda sudah menyewakan kepada misi (gereja) atau siapa saja rasanya tidak salah dan ketika selesai masa sewa wajib memperpanjang atau memperbaharui atas persetujuan negara. Apalagi pembeli atau penyewa yang beritikad baik dilindungi oleh undang undang, “kata Marianus.
Ketika tanah di Tanah Ai tersebut selesai masa jangka waktu sewa oleh Misi atau gereja, lanjut Marianus, maka diberikan hak untuk kembali memperpanjang dan memperbaharui dengan tidak merugikan masyarakat di sekitar tanah tersebut.
Misi atau gereja kata Marianus, wajib menerapkan tata kelola perusahaan yang baik, wajib melaksanakan tanggungjawab sosial perusahaan (corporate social responsibility) misalnya wajib mempekerjakan warga masyarakat di perkebunan Patiahu tersebut, mendirikan balai pengobatan untuk warga masyarakat, memberi bea siswa bagi anak anak dari pekerja di perkebunan tersebut dan wajib menghormati tradisi budaya masyarakat di sekitar tanah tersebut.
Hal ini berdasarkan Pasal 15 Undang Undang 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal,ujar Marianus. (rel )