Cahaya Dari Bukit Tepeyac:Kisah Penampakan Bunda Maria Guadalupe

Oleh Paskalis X. Hurint, Sekretaris DPP Santo Yosef Freinademetz-Mautapaga
*Embun Fajar Dari Surga*
Pada suatu pagi yang berselimutkan embun di tanggal 9 Desember 1531, di tanah yang kelak dinamai Meksiko, seorang lelaki sederhana bernama Juan Diego (dalam bahasa Indonesia Yohanes Didakus) berjalan melintasi bukit Tepeyac. Ia bukanlah bangsawan ataupun pendeta, melainkan seorang pribumi Nahua yang baru memeluk iman Kristiani.

Di balik kabut yang masih menggantung di udara, ia mendengar melodi yang tak pernah didengarnya sebelumnya—nyanyian burung-burung surgawi yang menari di angkasa, lembut dan bening seperti cahaya pagi.
Tiba-tiba, dari balik cahaya keemasan yang melingkupi puncak bukit, muncul sosok wanita dengan wajah berseri, mengenakan jubah berwarna biru berhiaskan bintang, dan berdiri di atas bulan sabit perak. Ia memandang Juan Diego dengan mata yang lembut, seperti mata seorang ibu yang memanggil anaknya pulang ke rumah.
“Juanito, putraku yang paling kecil,” suara itu mengalun seperti aliran sungai di musim semi, “Akulah Perawan Maria yang Suci, Bunda dari Tuhan yang Maha Hidup, pencipta segala sesuatu, Tuhan dari langit dan bumi” (Poole, 1995, hlm. 37).
*Permintaan dari Sang Ratu Langit*
Bunda Maria memohon agar Juan Diego pergi kepada uskup dan memintanya untuk membangun sebuah kuil di tempat itu, “agar aku dapat menunjukkan kasihku, belas kasihku, dan perlindunganku kepada semua orang.”
Dengan jantung berdebar karena keheranan dan rasa hormat, Juan Diego menundukkan kepalanya dan menjawab dengan rendah hati, “Bunda, aku akan melaksanakan perintahmu.”
Namun, ketika Juan Diego menghadap Uskup Zumárraga, sang uskup ragu. Ia meminta bukti. Dengan hati yang remuk namun tetap penuh pengharapan, Juan Diego kembali ke bukit pada keesokan harinya.
Di tempat yang sama, cahaya kembali bersinar, dan sang Bunda menyambutnya dengan senyum. “Kembalilah besok, anakku,” katanya, “dan engkau akan membawa tanda yang akan membuatnya percaya padamu.”
*Tanda dari Surga*
Pada tanggal 12 Desember, ketika fajar mulai menyentuh langit, Juan Diego kembali ke bukit. Ia telah melewatkan janji sehari sebelumnya demi merawat pamannya yang sakit. Namun Sang Bunda tidak marah. “Apakah aku bukan ibumu? Apakah engkau tidak berada di bawah perlindunganku?” (Poole, 1995, hlm. 43).
Kata-kata itu adalah pelukan yang menghapus segala resah. Bunda Maria memintanya naik ke puncak bukit, dan di sana, di tengah musim dingin yang keras, Juan Diego menemukan mawar-mawar kastil yang bermekaran dalam warna merah menyala, harum dan hangat oleh keajaiban.
Dengan jubah tilma-nya, ia mengumpulkan bunga-bunga itu dan membawanya ke hadapan uskup. Ketika ia membuka tilma-nya, bukan hanya bunga yang jatuh ke lantai.
Di hadapan mata semua orang, terpampang citra Bunda Maria yang sama persis seperti yang ia lihat di bukit. Jubah biru berhias bintang, kulit kecokelatan seperti penduduk asli, mata penuh kasih.
Uskup pun tersungkur. Ia percaya. Dan seperti yang diminta, sebuah kuil didirikan di Tepeyac, tempat di mana surga dan bumi bersentuhan.
*Pesan yang Hidup*
Penampakan Bunda Maria dari Guadalupe bukan sekadar peristiwa mistik. Ia adalah cahaya penghiburan bagi mereka yang miskin dan tersingkir. Dalam wajahnya yang menyerupai wanita pribumi, ia menunjukkan bahwa surga pun berpihak pada yang lemah, bahwa cinta Tuhan menembus segala batas ras dan kekuasaan.
Sejarawan Stafford Poole mencatat bahwa devosi kepada Our Lady of Guadalupe menyebar begitu cepat karena ia “menjawab kebutuhan spiritual dan sosial masyarakat yang berada di antara dua dunia: tradisi lokal dan kekristenan Spanyol” (Poole, 1995, hlm. 61).
Bunda Maria menanamkan di tanah Meksiko bukan hanya kuil batu, tapi bait kasih sayang yang mengakar dalam jiwa rakyat. Sampai hari ini, tilma Juan Diego masih disimpan di Basilika Guadalupe dan tetap tak lapuk, meski telah berabad-abad lamanya.
*Warisan dalam Doa dan Air Mata*
Kisah ini bukanlah dongeng yang memudar bersama debu sejarah. Ia terus hidup dalam doa para peziarah, dalam air mata ibu-ibu yang menyalakan lilin untuk anak-anak mereka, dan dalam lagu-lagu rakyat yang menyebut namanya dengan kelembutan.
Di seluruh pelosok dunia, terutama Amerika Latin, Bunda Maria dari Guadalupe menjadi simbol harapan dan keadilan sosial.
Dalam kata-kata Paus Yohanes Paulus II saat beatifikasi Juan Diego, “Guadalupe adalah manifestasi kasih keibuan Maria bagi mereka yang menderita dan dicintai. Dalam dirinya, yang rendah dijunjung tinggi” (John Paul II, 1990).
*Diramu dari berbagai sumber*