AdvetorialRagam

Kongregasi SSpS Dalam Guratan Sejarah Congregatio Imitationis Jesu (CIJ)

Rangkuman Benang Sejarah CIJ

“Kami mau toeroet Yesoes,” menjadi seruan kerinduan awal dari para gadis Flores untuk terlibat dalam karya agung Tuhan. Seruan ini terpatri rapi di lembar sejarah Kongregasi suster pribumi pertama di daerah misi Kepulauan Sunda Kecil, yang kelak “dibaptis” dengan nama Congregatio Imitationis Jesu (CIJ) – Kongregasi Pengikut Yesus.

Bagaimana semua itu berawal? Perang Dunia Pertama, pengusiran misionaris di banyak daerah misi, dan kehadiran ensiklik Maximum Illud yang ditetapkan oleh Paus Benediktus XV tahun 1919 menjadi tonggak sejarah bagi putera-puteri di daerah misi untuk terlibat dalam “misio dei”: untuk berperan dalam tugas-tugas hidup untuk kebaikan umat manusia dan alam semesta.

Mgr. Peter Noyen SVD, Prefek Apostolik saat itu, bekerja keras merealisasi seruan ini.1 Ia meminta tenaga bruder, suster dan imam untuk mengurus perbengkelan, pembangunan, kesehatan, pendidikan dan pastoral. Setahun kemudian -1920- seruan Paus ini sampai juga ke telinga ketiga gadis dari Ili (Sikka): Maria Veronika, Lusia Lise dan sahabatnya. Mereka mau turut Yesus, selamanya.

SSpS dalam Guratan Sejarah CIJ

Pater Johann Köberl SVD menangkap kerinduan mereka dan menyampaikannya kepada Mgr. Arnold Verstraelen SVD, yang saat itu menjabat sebagai Vikaris Apostolik menggantikan Mgr. Peter Noyen SVD yang meninggal 24 Februari 1921 di Steyl. Diskursus mendirikan biara pribumi bagi puteri-puteri lokal makin kuat seiring dengan rencana pembukaan seminari kecil bagi putera-putera pribumi.

Terbitnya Ensiklik Rerum Ecclesiae oleh Paus Pius XI tahun 1926, menyulut percepatan pembentukan biara religius untuk putera-puteri daerah di tanah misi. Empat tahun kemudian – 1930 – dimulailah formasi dasar, yang melibatkan 14 calon (12 dari Flores dan 2 calon dibawa oleh seminaris Gabriel Manek (kemudian menjadi Uskup dan pendiri Tarekat PRR), dan Mataloko tercatat namanya sebagai ladang awal bagi persemaian benih panggilan CIJ di bumi Flobamora.

Selanjutnya 1933, Jopu dipilih menjadi tempat formasi para calon Suster, yang saat itu berjumlah 13 orang. Setelah perjalanan panjang 15 Maret 1935 terbitlah dekrit pendirian Kongregasi Pengikut Yesus ditandatangani dan dimaklumkan oleh Mgr. Heinrich Leven SVD, yang adalah Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil. Dan pada hari raya Kabar Sukacita, 25 Maret 1935, dengan diterimanya jubah biara di Jopu, sejarah panjang CIJ mulai terulur.

Lela – Sikka (1920-1930)

28 tahun kemudian, tepatnya 13 Januari 1917, 6 orang suster SSpS tiba di Lela-Flores. Keenam suster SSpS ini datang ke Flores atas permintaan Mgr. Peter Noyen SVD, Prefek Apostolik Kepulauan Sunda Kecil saat itu. “Kami sangat memerlukan para Suster, jika tidak, hidup akan menjadi terlalu mahal!” tulis Mgr. Noyen dalam korespondensinya dengan Superior General saat itu, P. Nikolaus Blum SVD.

Para suster datang untuk mendukung pekerjaan misionaris SVD. Sejak awal kedatangan mereka, para suster bekerja di tiga bidang: pendidikan, kesehatan, dan karya pastoral.2 Kehadiran para suster SSpS di Lela, dan kerinduan tiga gadis yang ingin mengikuti Yesus, menjadikan Lela sebagai jejak awal sejarah CIJ. Lela adalah tapakan awal, perhentian pertama untuk mengeksplorasi potensi gadis pribumi demi menjawab panggilan suci menjadi suster biarawati.

Tahun 1925, enam calon ditampung di asrama susteran SSpS di Lela3. Pater Lambertus Flint SVD, misionaris dari Osnabrück Jerman (+11.1.1950) dipercayakan untuk mendampingi mereka sebagai bapa rohani. Perbedaan budaya, latar belakang pendidikan dan kematangan iman menjadi bagian orientasi yang terus digeluti oleh puteri-puteri Flores ini. Asa mereka pun tak pupus dimakan waktu. Mereka terus bergerak maju, kemana pun Roh mengutus mereka.

Mataloko (1930-1932)

16 Juli 1930 dengan diperluasnya medan misi ke arah barat daratan Flores, Suster-suster SSpS pun mulai membuka komunitas baru di Mataloko. Mataloko dipilih menjadi tempat persemaian panti imam (seminari kecil) sedaratan Flores dan Timor.4 Mgr. Arnoldus Verstraelen SVD juga mencari format baku untuk formasi para suster pribumi. Langkah awalnya adalah memindahkan para calon suster dari Lela ke Mataloko.

Bersamaan dengan itu Uskup Verstraelen mengangkat Sr. Helene Geizemann SSpS menjadi pendamping para calon suster ini, yang sejak saat itu disebut “kandidat”. Suster Helene pun dipindahkan dari Larantuka ke Mataloko. P. Johann Köberl SVD, misionaris kelahiran Vöslau, Austria (+7.12.1988), dipindahtugaskan ke Mataloko. Pater Köberl, selain mengajar di Sekolah Rakyat, juga diangkat oleh Uskup Verstraelen menjadi bapa rohani para kandidat suster ini (sampai tahun 1932).

Pater Köberl bersama Suster Helene merancang regulasi, aturan hidup harian para kandidat ini dan juga mengonsepkan model pakaian biara mereka.5 Tempat formasi dan tugas utama para suster kelak, menjadi diskusi panjang para misionaris; dan mereka belum menemukan jalan keluarnya.

Meninggalnya Uskup Vestraelen karena kecelakaan mobil melahirkan kerumitan baru dan diskusi tentang formasi para suster pribumi hampir mengalami jalan buntu.

Pater Heinrich Leven SVD, yang diangkat menjadi Pro-Vikaris, membutuhkan waktu untuk merealisasikan proyek besar panggilan hidup membiara untuk putri-putri lokal ini.

3 Asrama ini sudah dibangun oleh Suster-suster Cinta Kasih Tilburg, yang sejak tahun 1890 bekerja di Flores.
Mereka meninggalkan wilayah misi Flores dan memberi tempat ini untuk Suster SSpS. 23 Januari 1917, sepuluh
hari setelah kedatangan para suster SSpS, para Suster dari Tilburg meninggalkan Flores dan 230 anak didik di Lela.

Seminari Kecil ini tahun 1926 dimulai di Sikka oleh Pater Frans Cornelissen SVD. Pembukaan seminari kecil ini
adalah ide dan kerinduan dari Mgr. Verstraelen. Walau banyak kritik dari kebanyakan misionaris Belanda, ia tetap melihat pentingnya pendidikan untuk calon imam. Tahun 1929 seminari kecil ini dipindahkan ke Mataloko.

SSpS dalam Guratan Sejarah CIJ

26 Desember 1932 Pater Leven meliburkan para kandidat dan mempercayakan kepada Pastor paroki masing-masing untuk menjadi pendamping mereka selama liburan. Gambar Hati Kudus Yesus dan St. Yosef yang menggendong bayi Yesus menjadi tanda resmi, siapa yang diterima untuk formasi lanjut dan siapa yang seterusnya tinggal di rumah.

15 April 1933 Paus Pius XI mengangkat P. Heinrich Leven, SVD menjadi Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil.6 Kebijakan untuk melanjutkan formasi para suster pribumi kini sepenuhnya ada di tangannya.

Dengan penyelenggaraan Ilahi, Deus providebit, ia memilih untuk melanjutkan proyek besar ini. Dari 14 kandidat yang diliburkan, tujuh diantaranya dinyatakan lulus seleksi (menerima gambar Hati Yesus), dan ketujuh yang lain menerima gambar Santo Yosef.

Tujuh calon itu: Veronika Buik, Veronika Telik, Maria Veronika, Lusia lise, Antonia Kuki, Raimunda Roja dan Yohana Hewot. Enam kandidat lain juga turut dipanggil, yaitu Elisabeth Bota dan Ernesti de Ornay dari Lewolaga, Flores Timur, Angela Tahan dan Maria Belak dari Timor, Alberta Tuto dari Belang – Lembata, Petronela Pagang dari Nita – Sikka.

Jopu (mulai 1933)

26 Mei 1933 tujuh kandidat yang lulus dipanggil oleh Vikaris Apostolik, untuk hari itu juga diberangkatkan ke Jopu. Juga 6 kandidat lainnya. Ketiadaan rumah formasi, minimnya personal untuk pendampingan dan letak geografis yang ideal untuk formasi para Suster menjadikan Jopu sebagai satu-satunya pilihan.

Di Jopu ada gedung kosong, yang sebelumnya dijadikan kantor polisi dan kini dijadikan sebagai rumah formasi bagi “kongregasi” baru ini. Sustersuster SSpS sejak 1924, empat tahun setelah berdirinya paroki Jopu, sudah berkarya di sana. Karya kesehatan, misalnya, yang dibuka oleh Sr. Carina M. Kumpitsch SSpS berkembang hingga kini menjadi Rumah Sakit St. Antonius Jopu. Mula-mula para postulan CIJ didampingi oleh Sr. Odelberta SSpS, dibantu oleh Sr. Carina M. Kumpitsch SSpS. Misionaris Jerman kelahiran Telgte, Münster P. Johann Suntrup-Schütte SVD


Komisi Spiritualitas CIJ: Mgr. Henricus Leven SVD – Pendiri Kongregasi Pengikut Yesus ditugaskan menjadi bapa rohani bagi para calon CIJ. Pater Suntrup-Schütte 17 tahun (1933 – 1950) menjadi pendamping para novis di Jopu.

Dalam Kapitel General SSpS 1934, Sr. Gerardiana Geertje Spijker SSpS, yang menjadi pemimpin Regional di Flores, memaparkan tentang calon suster pribumi ini di sidang yang dihadiri oleh utusan SSpS dari berbagai belahan dunia.

“Sejak tahun 1933, para suster SSpS diberi tanggungjawab untuk membentuk para suster pribumi. Saat ini ada 13 postulan dan diharapkan bisa menjadi biarawati. Para postulan ini dibimbing oleh para suster, dan kepada mereka diajarkan tentang hidup religius.

Mereka tidak dibentuk untuk menjadi SSpS, tapi akan dibentuk sebuah kongregasi untuk mereka.”8 Setahun kemudian 15 Maret 1935 terbitlah dekrit tentang berdirinya Kongregasi suster pribumi: “Hisce ltteris erigo et
constituo Congregationem Religiosam Indigenam pro muleribus et approbo ad tempus
probationis Constitutiones ac nomen Ketoeroetan Jesoes.

25 Maret 1935, pada pesta Kabar Sukacita, gadis-gadis pribumi mengenakan pakaian biara pertama kalinya dan sejak saat itu pula dimulailah novisiat pertama bagi CIJ.

Mgr. Heinrich Leven SVD, atas persetujuan pimpinan SSpS membebastugaskan Sr. Xaver Hoff SSpS dari komunitas Lela sekaligus mengangkatnya menjadi Magistra Novis CIJ di Jopu. (Bersambung)

Ditulis oleh Sr. Ivonny Kebingin CIJ dan Pater, Agateus Ngala SVD


Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan