Putusan MK Atas Perkara No. 90/PUU-XXI/2023 Tidak Sah Harus Disidang Kembali
Oleh Marianus Gaharpung, Dosen FH Ubaya Surabaya
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tersebut sangat kontroversial membuat polemik hangat publik sejagat tanah air. Banyak sekali dugaan yang bernada negatif dialamatkan kepada hakim konstitusi sampai harus dibentuk Mahkamah Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) yang diketuai Ketua Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.,.
Mantan Ketua MK ini menyatakan putusan MK soal batas usia capres-cawapres bisa dibatalkan. Saat ini, MKMK sedang menyelidiki dugaan pelanggaran etik terhadap hakim konstitusi yang membuat amar putusan itu yang kontroversial.
Publik sangat dikejutkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 90/PUU-XXI/2023 yang kontroversial. Apalagi diperparah Ketua Majelisnya adalah Anwar Usman yang adalah ipar kandung Joko Widodo.
MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah usia 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden, asalkan mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah yang dipilih melalui pemilu.
Padahal Pasal 169 huruf q UU Pemilu dijelaskan usia minimal capres cawapres 40 tahun. Disini letak kontroversialnya, MK dimasukan norma baru bahwa usia minimal capres dan cawapres 40 tahun atau asalkan pernah menjabat atau sedang menjabat kepala daerah yang dipilih melalui Pemilu.
Padahal sejatinya MK tidak diperbolehkan memasukkan norma baru karena kewenangan tersebut hanya ada pada pembuat undang-undang yakni DPR bersama pemerintah.
Pertanyaan, mengapa hakim konstitusi hilang “nalar sehat” dengan membabi buta memasukkan norma baru ke dalam putusan? Disinilah asal muasal kekesalan kecurigaan sehingga sangatlah wajar publik mencurigai putusan MK yang kontroversial ini semua demi kepentingan luar biasa.
Sebab dua hari pasca putusan MK yang aneh ini anak Joko Widodo atau keponakan Anwar Usman, Gibran Rakabuming Raka langsung merapat ke Partai – Partai Koalisi Indonesia Maju sebagai cawapres bersama Prabowo Subianto sebagai capres.
Banyak pihak mengatakan suka tidak suka putusan MK ini sudah final and binding tidak ada lagi upaya banding kasasi bahkan PK ke Mahkamah Agung. Artinya putusan berlaku dan mengikat umum pihak (erga Omnes).
Putusan MK dikatakan erga omnes jika lahir dari proses hukum yang benar. Tetapi ketika putusan ini sarat dengan dugaan adanya nepotisme, maka putusan tersebut tidak sah. Nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya yang merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Nepotisme adalah tindak pidana dengan ancaman pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 22 UU 28/1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme.
Putusan MK dugaan kuat sarat nepotisme karena Ketua Majelis perkara No. 90 ini Anwar Usman adalah Ipar Joko Widodo maka otomatis adalah omnya Gibran yang sekarang cawapresnya Prabowo Subianto. Ini bentuk rekayasa murahan dan memalukan di negara hukum.
Oleh karena itu, putusan MK tersebut harus dinyatakan tidak sah. Itu artinya membawa konsekuensi hukum pendaftaran pasangan Prabowo dan Gibran di KPU juga tidak sah.
Dalam Undang Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jelas mengatur beberapa hal yang harus dipenuhi agar putusan hakim konstitusi dinyatakan sah dan mengikat semua (erga omnes).
Pasal 3 ayat 1 Undang Undang No. 48 Tahun 2009 dijelaskan dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan. Ayat (2) segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana dimaksud dalam Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pasal 17 ayat (3), Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua, salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau panitera.
Pasal 17 ayat (5) seorang hakim atau panitera wajib, mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara. Pasal 17 ayat (6) dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau
dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Selanjutnya, Pasal 17 ayat (7) perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda.
Hakim MK harus berani untuk mengembalikan marwah MK sebagai lembaga negara dengan kewenangan mengkawal konstitusi untuk kembali bersidang atas perkara No. 90/PUU-XXI/ 2023 dengan susunan majelis hakim konstitusi tanpa Anwar Usman agar memberikan putusan yang seadil- adilnya bagi semua pihak (erga omnes).
Jika hakim konstitusi tetap kekeh dan diam terhadap ketidakpuasan warga masyarakat atas putusan MK yang diduga sarat nepotisme tersebut maka “pengadilan rakyat” sangat mungkin akan meledak disebabkan kekecewaan terhadap putusan MK yang diduga kuat demi kepentingan Gibran Rakabuming Raka yang adalah putra kebanggaan Presiden RI Joko Widodo. Miris!