Kongregasi SSpS Dalam Guratan Sejarah Congregatio Imitationis Jesu (CIJ)
Sr. Raineldis, Johanna Michielse SSpS, Pemimpin CIJ
Berdasarkan Instruksi dari Propaganda Fide kepada Mgr. Henrich Leven SVD sebagai pendiri CIJ, butir 5 dikatakan: “… Hendaknya diusahakan agar sekurang-kurangnya dua suster dari salah satu lembaga yang sudah disahkan bersedia untuk menerima tugas-tugas sebagai moderatrix dan magistra novis dalam serikat baru yang akan didirikan, untuk sementara waktu, sampai serikat ini dapat menjalankan kehidupannya ini sendiri.”
Tugas ini selama hampir 16 tahun diemban oleh Sr. Xaver Hoff SSpS (sampai 1951) dan dibantu oleh suster yang lain bersama Pendiri CIJ Uskup Leven.
Kembalinya Mgr. Heinrich Leven SVD ke Steyl 1952 karena alasan kesehatan, menjadikan Vikaris Apostolik, Mgr. Antonius Thijssen, SVD, misionaris kelahiran Baarlo, Belanda sebagai penanggungjawab utama bagi CIJ.
Pertumbuhan anggota CIJ yang bagus, juga tanggungjawab pastoralnya yang besar, mengharuskan Uskup Thijssen untuk berkomunikasi dengan pimpinan SSpS.
Dalam suratnya kepada pimpinan Regional, yang ditembuskan kepada pimpinan General SSpS, Uskup Thijssen menulis: “Saya mengharapkan, Anda atau Pimpinan General, untuk menunjuk salah seorang Suster yang berpengalaman, memiliki sifat ramah dan iman yang mendalam, untuk diperbantukan di Jopu. Sehingga Sr. Xaver sepenuhnya berkonsentrasi di Novisiat dan membimbing para kandidat.
Akhirnya General SSpS 1952 mengangkat dan menetapkan Sr. Raineldis SSpS untuk menjadi pemimpin di Jopu, sekaligus diberi mandat sepenuhnya oleh Uskup Thijssen untuk mengembangkan CIJ dan menjalankan visitasi Kanonik.
Siapakah Sr. Raineldis?
Semasa gadis ia dipanggil Johanna. Ia berasal dari keluarga yang harmonis dan religius. Ia lahir pada tanggal 8 Desember 1894 sebagai anak ketiga dari enam bersaudara di Vessem, dekat Tilburg – Belanda.
Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya, ia bekerja selama tiga tahun sebagai “pembantu rumah tangga” dan kemudian bekerja membantu Orangtuanya untuk mengembangkan usaha pertanian mereka.
Johanna memulai hidup membiara di Kongregasi SSpS dan ketika menerima pakaian biara pada 5 Mei 1919 ia memilih nama Raineldis. Dia selanjutnya dididik menjadi seorang perawat. Ia sangat merindukan untuk secepat mungkin menerima tugas misi, terutama karena adik kandungnya, Sr. Wigberta SSpS, sudah dalam perjalanan ke tanah misi di Indonesia.
Akhirnya tahun 1931 ia juga dikirim ke Indonesia, untuk seterusnya ditempatkan di Larantuka, Flores. 21 tahun lamanya Sr. Raineldis SSpS bekerja tanpa lelah sebagai perawat di tana nagi, kota Renya. Ia selalu membangun relasi yang harmonis dengan dokter dan para Suster dan memiliki banyak kesempatan dalam tugas medisnya untuk memberikan hati keibuannya kepada mereka yang dilayaninya.
Imannya yang kokoh menghilangkan semua ketakutan; dan semua orang yang ada di sekitarnya diberinya rasa aman, sehingga pekerjaan mereka pun menghasilkan buah. Suster Raineldis bersama Uskup Thijssen dan Suster Xaver membuka Komunitas CIJ “Ratu Damai” Waibalun (25 Juni tahun 1952), kemudian Komunitas “Kristus Raja” Ende (20 Mei 1955), Komunitas Boawae (14 Agustus 1954) dan Waerana (8 November 1955).
Suster Raineldis juga mengurus keabsahan kongregasi dalam segi hukum sipil dengan membuka Yayasan CIJ pada tahun 1956 dengan nama: Yayasan Kongregasi Keturutan Yesus dengan akte nomor 01. Karya kesehatan, misalnya, yang dibuka oleh Sr. Carina M. Kumpitsch SSpS dilanjutkan oleh Suster Raineldis.
Beliau juga mengaderkan Sr. Laetitia, Kristina Penu CIJ, yang kemudian tahun 1967 sebagai yunior dikirim oleh Pemimpin Umum, Sr. Theresia Kuki, CIJ ke Jerman untuk studi keperawatan.
Setelah lebih dari delapan tahun menjadi pemimpin, tepatnya tahun 1961, Sr. Raineldis meminta kepada pimpinan SSpS untuk mengizinkannya kembali ke Larantuka, karena dia sudah bertahun-tahun mengeluh sakit di lambung dan usus, yang diperparah dengan keseringannya bepergian sehubungan tugas yang diembannya.
Dia lalu dipindahkan ke Larantuka dan di sana ia lagi-lagi menjadi pemimpin rumah untuk para Suster. Di sini dia sangat membanggakan para suster muda pribumi.
Dia juga memelihara kontak yang baik dengan para suster dari biara PRR. Sr. Nidgaria SSpS, dalam korespondensinya ke rumah induk di Steyl, menulis: “Mama Reineldis berusia 72 tahun dan selama 36 tahun menjadi misionaris di Flores. Dari 36 tahun ini, 8 tahun lebih menjabat pimpinan Kongregasi Pengikut Jesus di Jopu, dan sisanya di Larantuka, Flores Timur.
Dia memberi dirinya di sini untuk karya misi, ia dicintai dan dihormati oleh semua orang sebagai „Mama“ yang baik hati.
Seandainya kita tahu betapa ia selalu menderita penyakit fisik yang parah, maka kita tak akan pernah berhenti mengagumi karyanya.”
Tentang detik-detik kematiannya, Suster Nidgaria menulis: “Sekitar jam 10 malam nafasnya menjadi berat dan pendek, setelah tengah malam dia mengalami serangan yang parah, yang membuatnya begitu lemah, tetapi dia selalu menghadapinya dengan tenang dan sikapnya tegas seperti biasanya, sampai akhir.
Seorang Suster berdoa novena Penyerahan kepada Roh Kudus dan kemudian bertanya, “Haruskah kita memperbarui kaul lagi?” Mama Raineldis berkata dengan tegas: “Oh, itu sudah cukup!” Dia telah menerima Sakramen Pengurapan Orang Sakit empat hari yang lalu, juga telah memperbarui kaulnya, dan itu sudah cukup baginya.
Dia memiliki kepercayaan yang teguh kepada Tuhan yang adalah kasih dan dia tidak takut untuk mati. Dia tidak takut pada apa pun. Hal ini diketahui oleh semua orang; dan karena dia tidak takut apa-apa, semua orang merasa aman bersamanya.
Setelah menerima sakramen pengurapan, dia mengucapkan terima kasih kepada para suster untuk segalanya dan berkata, antara lain: “Oh, saya bahagia untuk kembali ke surga, semua anak yang saya baptis, siap menjemput saya!”
Dia adalah seorang perawat dan bidan yang cakap, dan dalam banyak kesempatan, selama bertahun-tahun, ia telah membaptis bayi yang meninggal. Sr. Nidgaria SSpS, yang sebenarnya dalam perjalanan mengikuti retret tahunan, malam itu turut menyaksikan dari dekat menit-menit kematian Suster Raineldis.
Ia menulis: “Kami mengelilingi tempat tidurnya dan berdoa bersamanya. Dia sangat kehausan, tapi tenaganya terlalu lemah, bahkan untuk meneguk setetes air yang membasahi lidahnya ia harus mengeluh.
Seorang Suster berkata (dalam bahasa Belanda): „Mutter, wenn U im Himmel bent, dann denk an jungen Suester!“, yang artinya: “Mama, jika engkau sudah di surga, jangan lupa suster-suster yang masih muda.“
Dia menatap mereka dan mengangguk beberapa kali. Ya, kepada para suster muda ini, para puteri daerah ini, Mama Raineldis selalu hadir sebagai ibu yang peduli dan penuh kasih. Dia berjanji, di surga pun, dia tidak akan melupakan mereka.
14 Juli, beberapa menit sebelum jam 4 pagi, Sr. Raineldis menghembus nafas panjang dan pergi untuk selamanya kepada Tuhan yang ia imani.
Komunitas Suster di Larantuka kini menjadi rumah duka: penuh doa, air mata dan senandung duka yang tak mau berakhir. “Sepanjang hari banyak orang berdatangan, dari segala usia dan status.
Saat itu bertepatan dengan liburan panas, banyak anak seminari dan frater yang datang melayat, juga pastor-pastor dari paroki terdekat. Para Suster pribumi juga segera datang ke sana.
Pertama, para suster CIJ (sekitar 12 Suster) yang komunitasnya di paroki tetangga. Mereka meletakkan kartu yang indah di bantal, samping kepala Mama Raineldis dengan tulisan: “Salam dari seluruh Kongregasi Pengikut Yesus.” … Berdoa, menyanyi dan menangis adalah warna utama hari itu.
Semua lagu arwah dinyanyikan lagi dan lagi, begitu indah. Juga lagu-lagu Maria dan Hati Kudus, juga beberapa kali lagu Te Deum: Allah Mahakuasa, Pencipta alam semesta,” tulis Sr. Nidgaria dalam suratnya. Surat ini ditulis di Flores oleh Sr. Nidgaria SSpS, bertanggal 30 Juli 1967. Aslinya ada di Arsip Rumah Induk SSpS Steyl.
Dalam Kotbah Misa Requiem, seperti yang ditulis oleh Suster Nidgaria, Uskup Thijssen mengenang kembali Sr. Raineldis SSpS. Uskup mengingat tahun-tahun perutusan Suster Raineldis. “Suster Raineldis bekerja sebagai perawat di rumah sakit, di mana dia dengan penuh kasih membantu semua orang tanpa perbedaan. Selain tugas medis, dia juga tertarik pada hal-hal yang melingkupi keseharian orangorang itu.”
Uskup menamai semua kelompok dan dua kongregasi suster pribumi, yang selalu ia bantu kapan saja mereka membutuhkannya. “Dia benar-benar seorang Suster Misionaris dan ibu yang sejati. Tapi dia juga seorang “wanita kuat” yang tidak takut pada apa pun.”
Uskup Thijssen lalu menceritakan episode ini: “Ketika Jepang pindah ke Larantuka (dalam Perang Dunia II) ada ketakutan besar di mana-mana; hanya Mama Raineldis yang tidak takut. Bahkan tentara Jepang itu kagum dengannya dan bertanya mengapa dia tidak takut. Dia menjawab, “Saya tidak melakukan sesuatu yang jahat, mengapa harus saya takut?”
“Sr. Raineldis SSpS benar-benar seorang ibu dan “wanita yang kuat”, ya, seorang “mama yang kuat”. Dia baik dan lembut, tapi tidak manja: itu bukan tipe dia. Dia jujur dan mengatakan kebenaran kepada siapa pun, tanpa rasa takut.
Dan karena dia mengenal semua orang dan dia bagai seorang Mama bagi semua, dia bisa dan “diijinkan” untuk mengatakan segala sesuatu yang untuk orang lain sangat sulit untuk mengatakannya atau tidak berani untuk mencoba mengatakannya,” tulis Suster Nidgaria untuk menggarisbawahi apa yang Uskup kotbahkan.
Dalam acara penerimaan pakaian biara para Suster SSpS di Hokeng, dua hari berikutnya, Uskup Thijssen mengajak para Suster untuk mencontohi hidup Sr. Raineldis SSpS. Uskup mengatakan: “Sr. Raineldis SSpS adalah satu keutuhan seorang ibu dan Misionaris sejati.
Setiap orang yang berada di dekatnya segera merasakan dan tahu bahwa dalam Gereja Katolik masih ada kasih dan belas kasihan, kesabaran dan kebajikan, kemurnian dan kerendahan hati.
Dan ini adalah arti dari kaul-kaul biara, bahwa setiap orang yang kita jumpai, baik Kristen atau dari agama dan kepercayaan lain, melihat dalam diri kita ada cinta dan belas kasihan, kesetiaan dan kebajikan, dan dengan demikian mereka tertarik kepada Allah dan menghayati iman yang benar. Kita harus meniru apa yang telah dicontohkan oleh Suster Raineldis.“
Terimakasih: Selamat datang – Ave spes unica!
Keluarga besar CIJ pun bersyukur bahwa pada tanggal 3 November 2021, atas ijinan pimpinan dan keluarga besar SSpS (Flores dan dunia), dan khususnya dukungan Gereja Lokal dan umat, kubur Sr. Raineldis SSpS (dan Sr. Antonela CIJ) boleh dibuka dan tulang-tulangnya disemayamkan di pekuburan Rumah Induk CIJ – Jopu pada 4 November 2021.
Terimakasih kepada keluarga besar SSpS. Ada begitu banyak yang terlibat dalam tapakan sejarah CIJ, baik secara Kongregasi maupun pribadi. SSpS adalah ibu, mama, ya “rahim” yang melahirkan, memelihara dan membesarkan CIJ.
Sebagai Kongregasi Misi, SSpS telah menjalankan tugas besarnya seturut amanat Gereja Universal: diinspirasi oleh Roh Ilahi, menabur cinta bagi semesta dan menjadikan baru seluruh muka bumi. SSpS adalah “inang pengasuh” bagi CIJ, peran yang patut disyukuri secara istimewa sepanjang zaman oleh CIJ dan Gereja Lokal Flobamora. Mari kita berlangkah bersama. Cinta Kristus mendesak kita. (Habis)
Ditulis oleh Sr. Ivonny Kebingin CIJ dan Pater, Agateus Ngala SVD