Pandangan Tokoh Agama Islam Kabupaten Ende Terkait Politik Identitas
Oleh, Haji Alidin Yunus,Wakil Ketua MUI Kabupaten Ende
Politik identitas merupakan alat politik suatu kelompok seperti etnis, suku, budaya, agama, gender, atau yang lainnya untuk tujuan tertentu misalnya sebagai bentuk perlawanan atau sebagai alat untuk menunjukkan jati diri suatu kelompok tersebut (Wikipedia).
Dapat diartikan pula Cara berpolitik yang mengutamakan atau mendasarinya pada kepentingan kelompok yang dilandasi oleh kesamaan identitas tertentu seperti agama, etnis, gender, budaya, warna kulit dan lain-lain,(Makmun Murod)
Tujuannya adalah sebagai alat untuk memperkuat solidaritas dan identitas kelompok, membuat pemilih merasa terhubung dan mewakili nilai-nilai, kepentingan, atau aspirasi mereka. Hal ini dapat menciptakan rasa kohesi dalam kelompok identitas tertentu dan mendorong partisipasi politik mereka.
Politik Identitas sudah dipraktekan sejak lama. Sejak masa kerajaan, masa merebut kemerdekaan hingga kini. Pada masa kerajaan, ada perebutan kekuasaan di kerajaan Budha, Hindu, Islam.
Pada masa perebutan kemerdekaan kelompok partai-partai Islam, Partai berbasis Nasional, Partai berbasis kedaerahan menunjukkan partisipasinya untuk merebut kemerdekaan.
Pada masa awal kemerdekaan partai-partai tersebut menunjukkan identitasnya lebih nyata ketika menempatkan wakilnya di parlemen dan merebut kursi kepresidenan mau Bangsa (suku) Papua dalam gerakannya sekarang melalui kelompok kelompok sipil bersenjata tak lepas dari politik identitas.
Menjelang Pileg, Pilkada, bahkan Pilpres fenomena politik identitas terpampang jelas di mata.
Sebenarnya politik identitas adalah nama lain dari bio politik atau politik perbedaan. Bio politik mendasarkan diri dari perbedaan-perbedaan tubuh.
Apakal Boleh?
“Makmun Murod” mengatakan tidak ada yang salah dalam berpolitik dengan mendasar pada identitas tertentu selagi tetap dijalankan dalam koridor konstitusi dan tidak melabrak aturan perundang-undangan yang berlaku.
Mahfud M.D. mengatakan bahwa politik identitas bukanlah suatu hal yang dilarang dalam kontestasi pemilu. Menurutnya itu bisa saja dilakukan asal bukan dengan tujuan menjatuhkan pihak lain.
Mengapa praktek politik identitas menjadi negatif?
Praktek politik identitas masa kini menjadi “naik daun ketika kontestasi Pilkada DKI Jakarta 2017, yang berhadap-hadapan kelompok Anies R Baswedan dengan kelompok Basuki Tjahya Purnama.
Politik identitas dianggap melahirkan kemenangan bagi Anies R. Baswedan melalui gerakan massa pada Aksi 212. Secara nasional lanjutan dari politk identitas menyebabkan masyarakat terpolarisasi menjadi “Cebong” dan “Kampret”. Kedua kelompok itu saling menjatuhkan untuk menggalang suara terbanyak dan imbasnya sampai sekarang itu terlihat jelas di media media masa terutama media sosial.
Praktek Politik Identitas itu Berbahaya?
Menurut Murod, ada perbedaan antara politisasi identitas dan Identitas Politik Politisasi Identitas berarti identitas dipolitisasi sedemikian rupa untuk menggapai kekuasaan Perbedaan keduanya dapat dibaca dengan melihat kepentingan yang melatarbelakangi
Perseteruan antara dua kubu dari hasil politik identitas dinilai sangat berbahaya bagi stabilitas negara, sebab dapat memicu konflik di antara kelompok masyarakat.
DR. Raden Stevanus mengatakan “politik identitas yang digunakan untuk meraih kekuasaan akan membawa perpecahan, polarisasi, dan ketegangan di masyarakat.
Apakah Politik Identitas Bertentangan dengan Pancasila? BPIP mengatakan politik identitas bertentangan dengan sila ke tiga Pancasila: Persatuan Indonesia. Persatuan Indonesia adalah persatuan yang mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Pandangan MUI tentang Politik Identitas
Indonesia adalah Negara “Darussalam Negara penuh kedamaian (NU) atau atau Darul Ahdi wa syahadah” Negara kesepakatan dari suatu perjanjian yang disepakati (Muhammadiyah).
Negara Pancasila merupakan hasil konsensus nasional (dar al ahdi) dan tempat pambuktian atau kesaksian (dar alsyahadah) untuk menjadi negeri yang aman dan damai (dar alsalam) menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, berdaulat dalam naungan ridha Allah SWT
Nilai-nilai atau norma dalam agama adalah nilai dan norma yang mulia dan luhur. Oleh karena itu tidak sepantasnya dijadikan alat legitimasi konflik antaranggota atau kelompok masyarakat, antarumat beragama, diskriminasi terhadap kelompok minoritas, dan lain-lain. (Wahidul Anam)
Catatan,materi ini disampaikan pada kegiatan dialog antara tokoh agama dengan Pemda Ende dengan tema, PERAN TOKOH AGAMA DALAM MEREDAM ISU POLITIK IDENTITAS MENUJU PEMILU 2024 YANG JUJUR DAN BERKEADILAN.
Disampaikan pada,Kamis (7/9/2023) di Ruang Garuda Kantor Bupati Ende.