HATI HATI MENGGUNAKAN TERMINOLOGI KEKHILAFAN HAKIM DAN KEKELIRUAN NYATA DALAM MEMORI PK MAHKAMAH AGUNG
Oleh, Marianus Gaharpung SH , Dosen Universitas Surabaya
Pertanyaannya, apakah Peninjauan Kembali (PK) harus dilakukan oleh pihak yang merasa rugi atas putusan pengadilan yang berkekuatan tetap (inkracht van gewijsde)? Jawabannya, boleh saja asalkan kajiannya harus betul-betul akurat dengan melihat bukti- bukti, fakta perkaranya serta penerapan hukum yang dilakukan Majelis Hakim di setiap tingkat pengadilan.
PK adalah upaya hukum luar biasa terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum. Pertanyaannya apa pengertian putusan berkekuatan hukum tetap ? Penjelasan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor: 22 Tahun 2002 tentang Grasi, “Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah:
Putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana;
Putusan Pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-undang tentang Hukum Acara Pidana; atau putusan Kasasi.
Permohonan PK ditujukan kepada Ketua Mahkamah Agung RI yang disampaikan melalui Ketua Pengadilan Negeri yang telah mengeluarkan putusan tingkat pertama. Pengajuan Permohonan PK tidak dibatas dengan tenggang waktu, sesuai Pasal 264 Ayat (3) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Permintaan PK dituangkan ke dalam Memori PK yang memuat alasan-alasan, dasar fakta dan dasar yuridis, merujuk kepada Pasal 263 Ayat (1) dan Ayat (2) huruf c KUHAP yang mengatur tentang alasan yang dapat dijadikan dasar Permintaan PK yakni:
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan yang memenangkan salah satu pihak yang berperkara;
Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Alasan- alasan tersebut di atas tidak bersifat kumulatif tetapi alternatif. Artinya, Pemohon PK dapat memilih salah satu alasan yang akan dijadikan dasar paling kuat dalam permintaan PK. Dalam praktek diantara ketiga alasan, yang sering menjadi dasar PK adalah alasan huruf c yakni “kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata”.
Atas dasar inilah mendorong kami membuat catatan kritis kepada sesama advokat atau penerima kuasa untuk hati- hati mengajukan PK atas dasar kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata.
Sebab dari katanya saja ada dua terminologi yang terkadang advokat atau kuasa hukum tidak mampu membedakan lalu menganggap kedua hal ini adalah satu kesatuan.
Disisi lain kedua terminologi ini lebih condong kepada aspek subyektivitas Majelis Hakim MA sehingga terkadang kita sulit mengukur atau membuktikan adanya kekhilafan dan kekeliruan nyata Majelis Hakim MA. Frasa ‘kekhilafan hakim’ berarti yang khilaf adalah hakim. Hakim khilaf secara tidak sengaja dan cenderung tidak terlihat. Sebaliknya, ‘kekeliruan yang nyata’ berarti kesalahan atau kekeliruan itu telah nyata, terang, atau jelas terlihat.
Kita ambil contoh suatu perkara perdata dimana pihak penggugat (misalnya RS. X) mengatakan seorang wartawan memberitakan di media bahwa karena adanya penolakan ibu hamil oleh RS X tersebut akibat tidak bisa menunjukkan bukti telah vaksi anti covid dengan tanpa konfirmasi terlebih dahulu sehingga pihak RS protes dan meminta meralat berita oleh wartawan dan Redaksi yang memuat berita tersebut serta sekaligus permohonan maaf dari wartawan/redaksi dan saat itu juga dibuatlah kesepakatan perdamaian dibawah tangan antara pimpinan redaksi, wartawan serta direktur RS X.
Tetapi beberapa bulan setelah pemberitaan tentang penolakan pasien hamil oleh RS X di media berdampak kunjungan pasien menurun drastis terhadap RS, akhirnya direktur RS sebagai badan hukum mengajukan gugatan perbuatan melanggar hukum ( onrechmatige daad).
Gugatan didaftar di pengadilan negeri, penggugat adalah direktur RS sedangkan wartawan sebagai tergugat 1 dan pimpinan redaksi sebagai tergugat 2. Dalam putusan majelis hakim pengadilan negeri(tingkat perdata) memenangkan penggugat(RS) dengan alasan adanya kerugian nyata penurunan pengunjung ( pasien) di RS tersebut diakibatkan adanya pemberitaan tersebut. Dan memerintahkan tergugat 1 memuat berita ralat selama 1 minggu di beberapa koran di kota tersebut dan pimpinan redaksi wajib membuat iklan permintaan maaf kepada RS satu halaman penuh di halaman belakang koran tersebut selama 1 minggu dan ganti rugi tergugat 1 adalah 1 miliar dan tergugat 2 sebesar 1.5 miliar.
Tergugat 1 dan 2, mengajukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi(tingkat banding) putusan pengadilan tinggi membatalkan putusan pengadilan negeri dengan alasan, tidak ada suatu ukuran yang pasti ( bukti dari hasil penelitian) yang mengatakan kerugian RS tersebut adanya hubungan kausalitas ( sebab akibat) dari pemberitaan media dan ternyata sebelum perkara antara penggugat (direktur RS) dan tergugat 1 dan tergugat 2 telah terjadi kesepakatan perdamaian sebelum gugatan a quo yang diajukan penggugat.
Atas putusan pengadilan tingkat banding tersebut penggugat (direktur RS) mengajukan upaya hukum biasa kasasi ke MA RI. Dasar putusan Majelis Hakim (bilik perdata) MA menolak memori kasasi dari pemohon kasasi atau penggugat(direktur RS).
Atas dasar putusan kasasi MA, pemohon PK atau penggugat mengajukan upaya hukum luar biasa berupa PK dengan alasan adanya kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata.
Menurut Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI dalam Putusan Nomor 107PK/Pid/2006 ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata antara lain: kekeliruan yang nyata yaitu dalam fakta yang ada.
Bahwa kekhilafan hakim adalah kekhilafan dalam menerapkan hukum antara lain misalnya dalam suatu perkara dinyatakan bahwa pihak yang bersangkutan masih hidup, ternyata pada saat perkara tersebut masuk dalam tingkat kasasi sudah meninggal.
Adami Chazawi dalam bukunya berjudul “Lembaga Peninjauan Kembali (PK) Perkara Pidana Penegakan Hukum Dalam Penyimpangan Praktik & Peradilan Sesat”, Penerbit Sinar Grafika Jakarta 2010, menyebutkan ada beberapa hal atau keadaan yang masuk ruang lingkup kekhilafan hakim atau kekeliruan nyata, yaitu sebagai berikut: Pertimbangan hukum putusan atau amarnya secara nyata bertentangan dengan asas-asas hukum dan norma-norma hukum;
Amar putusan yang sama sekali tidak didukung pertimbangan hukum;
Putusan peradilan yang sesat, baik karena kesesatan fakta (feitelijke dwaling) maupun kesesatan hukumnya (dwaling omtrent het recht);
Pengadilan telah melakukan penafsiran suatu norma yang secara jelas melanggar kehendak pembentuk undang-undang mengenai maksud dibentuknya norma tersebut;
Atas pemikiran para ahli atas makna kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata, maka jika dikaitkan dengan putusan pengadilan tingkat banding dan dikuatkan oleh putusan kasasi MA dimana sejatinya adanya kekhilafan hakim dan kekeliruan nyata bahwa pertimbangan hukum putusan majelis hakim MA secara nyata bertentangan dengan asas asas hukum dan norma hukum?
Dimana ada kesesatan fakta dan kesesatan hukum amar putusan majelis hakim MA? Apakah juga ditemukan majelis hakim MA melakukan penafsiran suatu norma yang jelas- jelas melanggar maksud pembuat undang- undang? Justru amar putusan Majelis Hakim MA kasasi yang menguatkan putusan pengadilan tinggi adalah sudah benar karena kerugian riil pihak RS X dengan adanya pemberitaan media tidak ditunjang dengan adanya bukti tertulis ( hasil penelitian) yang punya hubungan kausalitas antara penurunan pengunjung dan akibat pemberitan media tersebut.
Disisi lain, amar putusan kasasi MA mengatakan sudah ada kesepakatan perdamaian antara pemohon PK dan termohon PK adalah termasuk sumber hukum formal. Jelas Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yakni jika ada kesepakatan maka kesepakatan tersebut mengikat seperti undang undang bagi para pihak. Pasal 1338 ayat (2) kesepakatan tersebut berakhir jika adanya persetujuan kedua belah pihak.
Pertanyaannya, dalam fakta persidangan baik di pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding apakah penggugat dan atau tergugat 1 dan 2 pernah mengatakan mencabut kesepakatan perdamaian?
Atas dasar ini, dugaan kuat memori PK pihak pemohon PK atau penggugat (direktur RS) tidak diterima.