Opini

Memahami Keterlibatan Imam Dalam Politik: Analisis Seruan PMKRI Ende dan Opini RD Reginald Piperno Menjelang Pemilu 

Oleh : Dr (c).Ir. Karolus Karni Lando, MBA

Selama dua hari terakhir, saya merasa sangat tertarik membaca dua artikel yang diterbitkan oleh Berita 76.com dan Florespos.net. Kedua opini yang disajikan dalam artikel tersebut, menurut saya, memiliki potensi besar untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat pemilih, khususnya di Kabupaten Ende dan Nusa Tenggara Timur pada umumnya.

Namun, saya berharap agar masyarakat tidak melihat kedua opini ini sebagai sesuatu yang bertentangan, baik seruan dari PMKRI Ende maupun pandangan RD Reginald Piperno terkait keterlibatan imam dalam politik praktis. Sebaliknya, penting bagi kita untuk menganalisis kedua pandangan tersebut secara mendalam, dalam kerangka ajaran Gereja Katolik serta konteks demokrasi di Indonesia.

1. Seruan PMKRI Ende

Dalam berita dari Berita 76.com -15 September 2024, PMKRI Ende mengingatkan para clerus (imam) agar tidak terlibat dalam politik praktis. Hal ini didasarkan pada beberapa alasan:

•Menjaga Netralitas Gereja: Dengan tidak terlibat dalam politik praktis, para imam dapat menjaga netralitas Gereja sehingga pelayanan pastoral kepada umat tidak tercampur oleh kepentingan politik.

• Menghindari Potensi Konflik: Keterlibatan imam dalam politik praktis dapat memicu ketegangan atau konflik di masyarakat, terutama dalam konteks pluralisme agama di Indonesia. PMKRI melihat bahwa imam yang terlibat langsung dalam politik bisa menurunkan tingkat toleransi antarumat beragama.

• Kanon Hukum Gereja: Seruan ini juga sesuai dengan Kanon 285 §3 dari Kode Hukum Kanonik, yang menyatakan bahwa imam tidak diperbolehkan terlibat dalam jabatan publik yang melibatkan kekuasaan politik, untuk menjaga fokus pada tugas pastoral mereka.

PMKRI Ende sepertinya mengikuti panduan ini untuk memastikan bahwa Pemilu berjalan lancar tanpa campur tangan pemuka agama, yang bisa menimbulkan konflik sosial di masyarakat.

2. Opini RD Reginald Piperno (Flores Pos.net, 14/09/2024)

Di sisi lain, dalam artikel Flores Pos.net, RD Reginald Piperno menyatakan bahwa politik adalah hak fundamental bagi setiap warga negara, termasuk imam. Pandangan ini berdasarkan pada:

• Eksistensi Sebagai Warga Negara: RD Piperno menekankan bahwa imam, selain sebagai pemimpin spiritual, juga merupakan warga negara yang memiliki hak dan kewajiban untuk terlibat dalam urusan politik demi kesejahteraan umum.

• Peran Kritis Sosial: Imam memiliki peran penting dalam menegakkan kebenaran, keadilan, dan kebaikan bersama (*bonum commune) yang merupakan tujuan utama politik, sebagaimana dijelaskan oleh filsuf Aristoteles.

• Hak Kodrati dan Fundamental: Hak politik dipandang sebagai hak kodrati yang tidak bisa diambil dari siapa pun, termasuk imam. Ini berarti imam tetap memiliki hak untuk menyuarakan pandangan politik selama tidak mengorbankan integritas pelayanan rohani mereka.

3. Menggabungkan Kedua Opini

Untuk menyatukan dua pandangan ini, kita perlu memahami konteks keterlibatan imam dalam politik dari dua sisi: politik praktis dan politik moral atau etis.

• Politik Praktis: Ini adalah bentuk keterlibatan langsung dalam kampanye politik, mendukung kandidat tertentu, atau menduduki jabatan politik. Menurut ajaran Gereja (rujuk Kanon 285 §3 dan Kanon 287 §2), imam dilarang terlibat dalam politik praktis karena dapat menciptakan ketidakadilan dalam pelayanan dan memicu konflik.

• Politik Moral dan Etis: Di sisi lain, imam memiliki tanggung jawab moral untuk berbicara mengenai isu-isu sosial dan politik yang memengaruhi kesejahteraan masyarakat. Dalam hal ini, imam dapat dan seharusnya menyuarakan kebenaran serta keadilan, sebagaimana dijelaskan oleh RD Piperno, tanpa terlibat dalam politik praktis. Gereja mengakui bahwa imam memiliki peran untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui panduan moral, tanpa mendukung partai atau kandidat tertentu.

4. Siapa yang Lebih Benar ?

• Seruan PMKRI: Tepat dari perspektif praktis dan hukum Gereja, mengingat ajaran bahwa imam tidak boleh terlibat dalam politik praktis. Hal ini penting untuk menjaga integritas mereka sebagai pemimpin spiritual yang melayani semua pihak tanpa memihak.

• Opini RD Reginald Piperno: Juga benar, dalam konteks hak fundamental imam sebagai warga negara. Namun, keterlibatan ini harus dibatasi pada peran moral dan etis, di mana imam dapat berbicara tentang nilai-nilai politik tanpa melibatkan diri dalam perebutan kekuasaan politik.

5. Pencerahan untuk Masyarakat Pemilih

•Memahami Batasan Peran Imam: Imam memiliki hak untuk berbicara tentang kebenaran dan keadilan dalam politik, namun mereka tidak seharusnya terlibat langsung dalam mendukung kandidat atau partai tertentu. Ini untuk menjaga keseimbangan dan netralitas Gereja.

• Peran PMKRI: PMKRI memiliki tugas penting untuk mendidik dan mengawasi proses politik agar tetap berjalan adil dan transparan, tanpa campur tangan dari pemuka agama yang dapat memecah belah masyarakat.

• Keterlibatan Aktif Tanpa Memihak: Imam dapat terlibat dalam politik dengan memberikan panduan moral, menyuarakan kebenaran, dan menegakkan keadilan, namun mereka tidak boleh secara langsung memihak atau berpartisipasi dalam kampanye politik praktis.

Rujukan:

• Codex Iuris Canonici (CIC), Kanon 285 §3 dan 287 §2

• Artikel Berita 76.com tentang PMKRI Ende ( 15/09/2024)

• Artikel Flores Pos.net tentang “Politik Hak Fundamental Imam” (14/09/2024)

Kesimpulannya, baik seruan dari PMKRI maupun opini RD Piperno bisa dianggap benar bila dipahami dalam konteksnya masing-masing. PMKRI mengingatkan imam untuk menjaga netralitas dalam politik praktis, sementara RD Piperno berbicara tentang hak fundamental imam dalam menyuarakan nilai-nilai moral tanpa terlibat langsung dalam politik praktis.

Together for Excellence.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan