Opini

Moralitas Jurnalis di Era Digitalisasi

Oleh Marianus Gaharpung, Dosen F.H Ubaya, Surabaya

Kamis, 9 Pebruari, Hari Pers Nasional (HPN). HPN ditetapkan berdasarkan Keppres No. 5 Tahun 1985 oleh Presiden Soeharto.


Ulta HPN moment penting, spesial bagi semua “kuli” tinta sejagad tanah air untuk merefleksi diri apakah selama ini yang sudah dilakukan bermanfaat bagi pembangunan dan kemaslahatan orang banyak atau belum.

Jati diri jurnalis

Profesi ini adalah profesi yang mulia (“officium nobile”). Artinya di dalam setiap narasi pemberitaan media harus mengutamakan kepentingan rakyat, pemerintah, kepentingan orang yang terzolimi dan masih banyak kepentingan yang harus diakomodir seorang jurnalis.


Apakah di era digitalisasi suatu era atau zaman yang sudah mengalami kondisi perkembangan kemajuan dalam ranah kehidupan ke arah yang serba digital membuat jatidiri jurnalis bukan lagi pemburu berita melainkan berubah wujud menjadi jurnalis copi paste berita? Apakah jatidiri jurnalis sudah mengalami degradasi moral profesionalisme jurnalis.


Jujur saja di era digitalisasi media online tumbuh bak cendawan di musim penghujan terlihat dalam hampir sebagian besar pemberitaan media sudah hilang, nilai pendidikan, politik, ekonimi dan sosial budaya dan lain lain.


Kreativitas diri seorang jurnalis sejatinya sudah sulit ditemukan di era digitalisasi.


Dahulu kala koran atau media cetak sangat dirasakan masyarakat terutama dunia pendidikan sebagai sumber ilmu pengetahuan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat karena isi pemberitaan sangat kaya nilainya edukasinya.

Dalam dunia pemerintahan sebagai masukan sangat berarti bagi pejabat atau badan tata usaha negara di dalam mengambil kebijakan pemerintahan dan pembangunan. Dalam dunia militer sebagai informasi (A1) untuk inteligen kemiliteran. Bagi aparat kepolisihan sebagai “rekan” dalam membombardir jaringan kajahatan. Dan masih banyak hal potitif lainnya. Justru sekarang nilai yang demikian itu sudah sulit ditemukan dalam diri jurnalistik. Pemberitaan media online 80 persen sifanya informatif ketimbang investigatif akibatnya ketika membaca berita media online terasa kering dan tidak mendapatkan apa apa.

Jurnalis “all out”

Keseriusan dan tindakannya yang selalu “all out” merupakan salah satu ciri yang seharusnya dipunyai seorang berprofesi jurnalis. Jiwa “hunter” (pemburu) dan petarung sejati harus menjadi jiwa yang “handarbeni”. Artinya dalam jiwa seorang jurnalis merasakan memiliki tugas dan tanggung jawab bahwa media adalah urat nadi kehidupannya. Profesi yang harus mempunyai nilai moral spirit yang dahsyat dalam hal kejujuran, obyektivitas, independensi, transparan serta akurat, sehingga disegani, dihormati bahkan ditakuti oleh siapapun.


Justru sekarang stikma negatif terus menghantam profesionalisme yurnalis. Wartawan jadi “piarahan” pejabat, polisi bahkan penjahat hal ini menjadi buah bibir seliweran di jagat raya dunia maya. Apakah itu benar, hanya wartawan yang tahu jawabannya. Ada juga wartawan asal tulis berita, sangat subyektivitas diri wartawan di dalam membuat pemberitaan daripada buah pikiran sang narasumber. Terkadang wartawan menulis berita yang didapat dari sesama wartawan bukan langsung dari narasumber.


Atas dasar semua ini, hari Pers Nasional, moment introspeksi dan refleksi diri bagi kaum jurnalis agar kembali ke fitra jurnalisme yakni mewartakan kebenaran dan kejujuran kepada sesama. Ingat motto Napoleon;” Saya lebih takut menghadapi satu pena wartawan daripada seribu bayonet musuh.” Hal positif ini coba kembali menjadi jati diri jurnalis.


Semoga hut Pers Nasional bukan menjadi hal rutinutas serimonial belaka melainkan menjadi motivasi di dalam tugas anda sekalian. Viva Pers Nasional, viva jurnalis.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan