Opini

POLITIK “ETNO-RELIGI” DALAM PILGUB NUSA TENGGARA TIMUR

Penulis, Fransisco Soarez Pati, S.H

Nusa Tenggara Timur adalah salah satu propinsi berbasis kepulauan di Indonesia. Di propinsi yang secara geografis terletak di sebelah Selatan Indonesia ini berdasarkan geopolitik kawasan menjadi wilayah yang strategis karena berhadapan langsung dengan Australia dan Timor Leste.

Sejumlah lautan di Nusa Tenggara Timur seperti laut Timor, Laut Sawu, Laut Flores dan selat Ombai telah menjadi jalur penghubung lalut lintas laut internasional.

Di propinsi yang dulunya menjadi bagian dari gugusan Kepulauan Sunda Kecil ini terdapat kurang lebih 1.192 pulau, dimana dari ribuan pulau tersebut terdapat sejumlah pulau yang menjadi pusat kegiatan sosial masyarakat seperti Pulau Flores, Sumba, Timor, Alor, Lembata, Solor, Adonara, Pantar, Ende, Sabu, Rote, Semau, Besar, Pemana, Palu’E, Permaan, Sukun, Kojadoi, Kangge, Kura, Tereweng, Buaya, Pura, Rinca, Padar, Komodo, Mules, et cetera.

Meskipun secara geografis propinsi Nusa Tenggara Timur terletak di Selatan Indonesia namun secara umum dalam kebijakan nasional, propinsi Nusa Tenggara Timur dikelompokkan sebagai wilayah Indonesia Timur bersama dengan propinsi Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

Tidak ada yang salah dengan pengelompokkan tersebut jika merujuk pada ciri fisik ras Melanesia yang terbesar dari Timor Leste hingga ke Vanuatu. Namun pengelompokan tersebut pun tidak dapat dibenarkan jika merujuk pada letak geografis propinsi Nusa Tenggara Timur yang berada di Selatan Indonesia.

Oleh karena latar belakang pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur lahir dari penyatuan ribuan pulau pasca dibubarkannya Propinsi Sunda Kecil tahun 1958 menjadi 3 propinsi yaitu Bali, NTB, NTT, maka tidak mengherankan jika di Nusa Tenggara Timur terdapat ragam adat, budaya, bahasa serta agama yang berbeda antara kelompok masyarakat yang satu dengan yang lainnya.

Konsekuensi dari perbedaan-perbedaan tersebut maka ketika berlangsung pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur baik sebelum maupun sesudah disahkannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan kini dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, maka sejumlah aspek khususnya suku dan agama (etno-religi) menjadi faktor yang sangat diperhitungkan oleh para pelaku politik di Nusa Tenggara Timur.

Kedua aspek tersebut dikecualikan pada masa awal pembentukan Propinsi Nusa Tenggara Timur sebab pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur saat saat itu lebih didominasi oleh faktor “hasil konsultasi dengan Jakarta”. Hal ini dapat dilihat pada masa kepemimpinan Willem Johannes Lalamentik periode 1960-1965, El Tari periode 1966 – 1978, Penjabat Gubernur Wang Suwandi periode 1978 – 1978 dan Brigjen TNI dr. Aloysius Benedictus Mboi, M.P.H periode 1978 -1983, 1983 -1988, keempat Gubernur Nusa Tenggara Timur tersebut bahkan ada yang tidak didampingi oleh Wakil Gubernur seperti pada masa pemerintahan El tari dan Penjabat Gubernur Wang Suwandi.

Sementara itu pada pasa pemerintahan Gubernur Nusa Tenggara Timur yang pertama Willem Johannes Lalamentik ia didampingi oleh El Tari sebagai Wakil Gubernur dan pada masa pemerintahan Brigjen TNI dr. Aloysius Benedictus Mboi, M.P.H ia didampingi oleh Godlief Boeky sebagai Wakil Gubernur periode 1986-1991.

Hampir semua pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang memiliki keistimewaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, maka faktor keamanan nasional (national security) sangat diperhatikan bahkan ditempatkan sebagai skala prioritas.

Dari total 34 propinsi di Indonesia masing-masing propinsi memiliki geopolitik lokal, konsensus, konstelasi, budaya serta kesadaran politik masyarakat yang berbeda-beda antara wilayah propinsi yang satu dengan yang lainnya, sehingga variabel-variabel diatas turut diperhitungkan dalam menentukan pasangan Gubernur dan Wakil Gubernur di masing-masing propinsi.

Kesalahan dalam melakukan perhitungan diluar variabel tersebut berpotensi menghasilkan kekalahan bagi pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan bahkan jika dipaksakan akan menciptakan konflik politik yang dampaknya merugikan banyak pihak.

Para elit politik dalam kontestasi Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur saat ini terbagi dalam 3 kelompok; kelompok pertama adalah elit politik lokal (kabupaten dan  kota) yang berkolaborasi dengan elit politk regional di dalam wilayah Nusa Tenggara Timur, kelompok kedua adalah elit politik nasional asal Nusa Tenggara Timur yang berkolaborasi dengan elit politik lokal atau regional di Nusa Tenggara Timur dan kelompok ketiga adalah elit politik nasional asal Nusa Tenggara Timur yang berkolaborasi dengan sesama elit politik nasional.

Menurut hemat penulis apapun pengelompokkan para elit politik ternyata faktor etno dan religi sangat diperhitungkan dalam pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Masyarakat Nusa Tenggara Timur sebagai bagian dari rumpun ras Melanesia memiliki karakter politik yang sama dengan saudara dari kelompok ras Melanesia lainnya di wilayah lain di Indonesia seperti di Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua yaitu memperhitungkan faktor etno religi dalam memilih calon Gubernur dan Wakil Gubernur.

Sebagai contoh di Papua dan Papua Barat, persaingan politik dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur bertitik tolak dari persaingan politik antara elit politik yang berasal dari wilayah pegunungan versus elit politik yang berasal dari daerah pesisir.

Di Maluku persaingan politik dalam konstestasi politik pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur bertitik tolak dari persaingan antara elit politik Muslim dari Pulau Ambon dan sekitaarnya vesus elit politik Kristen (Katolik dan Protestan) dari Kepulauan Maluku Tengah, Maluku Tenggara dan Maluku Barat Daya.

Di Maluku Utara oleh karena mayoritas penduduknya beragama Islam maka persaingan politik dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubenur didominasi oleh persaingan antara elit politik berlatar etnis Kepuluan Makean, kepulauan Sula dan Kepulauan Halmahera.

Sementara itu di Nusa Tenggara Timur persaingan politik dalam konstestasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur berasal dari persaingan antara elit politik berlatar belakang etnis Flores – Katolik versus elit politik berlatar belakang etnis Timor-Protestan.

Sebagai contoh ketika Gubernur Nusa Tenggara Timur dijabat oleh dr. Hendrik Fernandez periode 1988 -1993 dari kalangan elit politik Flores-Katolik, ia didampingi oleh Wakil Gubernur antara lain Godlief Boeky periode 1988-1991 dan S.H.M. Lerrick periode 1991–1993 sebagai representasi elit politik Timor-Protestan.

Selanjutnya dimasa kepemimpinan Gubernur Herman Musakabe periode 1993-1998 sebagai representasi elit politik Flores-Katolik, ia memilih S. H. M. Lerick periode 1993–1996 dan Pieter Alexander Tallo periode 1996–1998 sebagai Wakil Gubernur sebagai representasi elit politik Timor-Protestan.

Selanjutnya ketika Pieter Alexander Tallo, SH, (mantan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 1996-1998 serta mantan Bupati Timor Tengah Selatan periode 1983-1993) dari kalangan elit politik Timor-Protestan terpilih sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur selama 2 periode, maka selama masa kepemimpinannya ia memilih Wakil Gubernur yang berasal kalangan elit politik Flores-Katolik yaitu Drs. Johanes Pake Pani (mantan Bupati Ende periode 19983-1993) dan Drs. Frans Lebu Raya.

Meskipun pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur pada saat itu masih dilakukan oleh DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur namun kalkulasi politik berbasis etno religi sangat diperhitungkan dalam memilih pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Masih berkaitan dengan uraian diatas maka di tahun 2008 ketika Drs. Frans Lebu Raya terpilih sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur periode 2008-2013 yang merepresentasikan elit politik Flores-Katolik, ia memilih Ir. Esthon L. Foenay, M.Si sebagai Wakil Gubernur sebagai representasi elit politik Timor-Protestan.

Pasangan ini pun tercatat sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur pertama hasil pemilihan langsung oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur.

Selanjutnya pada periode kedua ketika Drs. Frans Lebu Raya kembali terpilih kembali sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur 2013-2018, ia memilih Drs. Benny Alexander Litelnoni, SH., M.Si, (mantan Wakil Bupati Timor Tengan Selatan periode 2009-2013) sebagai Wakil Gubernur yang merupakan representasi elit politik Timor-Protestan.

Dari pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur sebagaimana uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa saling silang kepentingan politik identits berlatar etno-religi dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, tidak dapat dimaknai selain bahwa telah menjadi kesadaran bersama (common consciousness) para elit politik di Nusa Tenggara Timur bahwa jika mengusung calon Gubernur Nusa Tenggara Timur berlatar etno-religi Flores-Katolik maka calon Wakil Gubernur-nya haruslah berlatar etno-religi Timor-Protestan.

Sebaliknya jika mengusung calon Gubernur Nusa Tenggara Timur berlatar etno-religi Timor-Protestan, maka Wakil Gubernur haruslah berasal dari latar etno religi Flores-Katolik. Singkatnya adalah dalam konteks psikologi politik berbasis in grup dan out grup terdapat kesadaran bersama diantara para elit politik yang berbeda suku, agama bahwa politik identitas berlatar etno-religi menjadi alasan utama dalam menentukan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Saling silang kepentingan politik in grup dan out grup antara elit politik Flores-Katolik dan Timor-Protestan ini sungguh disadari oleh para pelaku politik, sehingga dalam rivalitas pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2018-2023, penetapan pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur berbasis pada kedua variabel diatas.

Contoh lainnya adalah dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur tahun 2018 yang lalu, Victor Bungtilu Laiskodat, SH, sebagai representasi elit politik Timor-Protestan terpilih sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur tidak terlepas saling silang kepentingan politik yaitu memilih Drs. Joseph Naisoi, M.M sebagai representasi elit politik Flores-Katolik sebagai Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Praktik politik identitas berlatar etno religi yang dilakoni oleh para pelaku politik di Nusa Tenggara Timur ini untuk jangka waktu yang lama menutup ruang dan kesempatan bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur lainnya dari kalangan Timor-Katolik, Flores-Muslim, Sumba-Prostestan/Katolik serta Alor-Protestan/Muslim untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur atau Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Faktor utamanya tidak lain karena hingga saat ini basis pemilih terbesar berlatar etno-religi di Nusa Tenggara Timur didominasi oleh masyarakat Timor dan Flores, sehingga pemilihan pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur masih didominasi oleh persaingan politik antara elit politik berlatar etno religi Timor-Protestan vs Flores-Katolik.

Namun demikian sesuai dengan hakikat politik itu sendiri yang dinamis maka bukan tidak mungkin suatu saat elit politik dari kalangan Timor-Katolik, Flores-Muslim, Sumba-Prostestan/Katolik, Alor-Protestan/Muslim terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur jika kalkulasi serta perhitungan politik dilakukan secara tepat, apalagi fakta menunjukkan bahwa mantan Ketua DPRD Propinsi Nusa Tenggara Timur Periode 2014-2019 yaitu H. Anwar Pua Geno, S.H, berasal dari kalangan politisi berlatar etno-religi Flores-Muslim.

Dalam pandangan serta analisa penulis bahwa dalam pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur 2024 yang akan datang, praktik politik in grup dan out grup berlatar etno religi (Timor-Prostestan vs Flores-Katolik) masih terus berlangsung dalam konstestasi pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur.

Merujuk pada regulasi yang berlaku maka Victor Bungtilu Laiskodat sebagai Gubernur incumbent sebagai representasi elit politik Timor-Protestan masih memiliki satu kesempatan lagi untuk mencalonkan diri sebagai Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur. Sehingga bukan tidak mungkin ia akan mengambil kesempatan tersebut dengan mencalonkan diri kembali sebagai Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur dengan memilih calon Wakil Gubernur-nya dari kalangan elit politik Flores-Katolik.

Namun demikian dengan melihat gaya kepemimpinan Victor Bungtilu Laiskodat, SH selama menjabat sebagai Gubernur Nusa Tenggara Timur dengan karakter personal yang khas yaitu emosional yang bila dihubungkan dengan sejumlah janji politik saat kampanye seperti akan mengirimkan sedikitnya 2.000 pemuda NTT setiap tahun untuk belajar di luar negeri, janji mengubah stigma minuman lokal “Moke” yang menurutnya cenderung membuat perut sakit dan dapat membawa kematian. Sehingga disaat kampanye ia menjanjikan akan mengirimkan pemuda NTT ke luar negeri untuk belajar tentang cara pengelolaan “Moke” untuk menunjang Pariwisata di NTT, ternyata hingga kini tidak direalisasikan.

Dengan melihat psikologi politik masyarakat Nusa Tenggara Timur yang tidak suka dengan pemimpin yang suka memberi janji serta harapan palsu maka bukan tidak mungkin masyarakat Nusa Tenggara Timur akan mencari figur pemimpin alternatif dari latar etno religi serta pandangan politik yang benar-benar berbeda dengan Victor Bungtilu Laiskodat sebagai Gubernur incumbent.

Sebuah pertanyaan reflektif untuk mengakhiri tulisan ini yaitu akankah Nusa Tenggara Timur kembali dipimpin kembali oleh Victor Bungtilu Laiskodat sebagai representasi elit politik berlatar etno-religi Timor-Prostestan atau sebaliknya Nusa Tenggara Timur akan dipimpin oleh politisi muda berlatar etno-religi “Flores-Katolik” yang akan menggandeng elit politik Timor-Protestan atau Sumba-Protestan sebagai Wakil Gubernur.

Tulisan ini akan menjadi pembuktian bahwa praktik politik berlatar etno-religi masih menjadi alasan utama masyarakat pemilih di Nusa Tenggara Timur memilih Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan