Uang Sertifikasi Guru di Kabupaten Sikka Senilai Rp 600 Juta Dimakan Tuyul ?

Oleh Marianus Gaharpung Dosen F.H Ubaya Surabaya
Saling berkelit serta lempar tanggungjawab antara HS mantan Kadis PKO yang sekarang menjadi Kadis Lingkungan Hidup dan Iswadi programer komputer di Dinas PKO tentang raupnya uang sertifikasi para guru senilai Rp 600 juta lebih.
HS dengan meyakinkan publik Nian Tana Sikka melalui kuasa hukumnya melapor Iswadi dengan pencemaran nama baik Pasal 310, 311 dan UU ITE karena memberi pernyataan bahwa uang tersebut diserakan 2 kali di rumahnya HS dan Iswadi mendapat “hadiah” 52 juta.
Hal inipun dijelaskan Iswadi saat demo para guru mendatangi Dinas PKO. Artinya dengan logika sederhana dan nalar orang waras, apa alasannya kok bisa bisanya HS memberi uang Rp 52 juta kepada Iswadi, kok prodeo amat?
Dugaan kuat ada jasa baik yang dilakukan Iswadi kepada HS. Pertanyaan selanjutnya bagaimana nasib uang para guru tersebut ketika HS dan Iswadi terus berkelit, apakah peristiwa hukum ini akan berhenti anggap saja dimakan “tuyul”?Jawabannya sederhana peristiwa hukum ini tetap dilakukan Polres maupun Kejaksaan Negeri Sikka.
Apapun sudah jelas terlihat dari penjelasan Kasis Intel Kejari Sikka dihadapan aksi demonstrasi para mahasiswa PMKRI Sikka bahwa Kejari Sikka tinggal menunggu hasil investigasi dari Inspektorat (APIP) Sikka.
Peristiwa raupnya uang sertifikasi para guru dugaan kuat lanjut karena konsep penyelesaian hukum tindak pidana korupsi (extraordinary crime), jelas berbeda dengan tindak pidana umum.
Ambil contoh jika seseorang diduga mencuri sepeda motor karena ada pengaduan dari orang yang merasa motornya hilang. Ternyata orang yang diduga mencuri bukan orang tersebut (error inpersona), maka perkara dihentikan (Sp3). Beda dengan pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilihat adanya kerugian negara akibat adanya tindakan melawan hukum (peraturan) dan penyalagunaan wewenang oleh pejabat tata usaha negara.
Penyalagunaan wewenang dimana pejabat tersebut menggunakan kewenangan diluar dari maksud pemberian wewenang kepada pejabat tersebut.
Sekarang dikaji peristiwa hukum atau fakta hukum adanya dugaan sunat dana sertifikasi guru Rp 600 juta lebih. HS sebagai kuasa pengguna anggaran di dinas PKO dan dinas pada umumnya sangat paham bahwa pencairan uang negara wajib hukum nontunai(kecuali ada ekseptional).
Pertanyaannya apakah HS dan Irma (bendahara) tidak paham atau ada dugaan niat untuk melanggar. Dari peristiwa hukum ini sudah terlihat ada niat (mens rea) serta tindakan/perbuatan (actus reus).
Oleh Iswadi programer uang tersebut dibawa ke rumah HS dua kali.
Iswadi sampaikan sesuai pernyataannya yang kedua, yang dibuat dihadapan Tim pemeriksa bahwa uang Rp 642 juta Iswadi serahkan HS 2 kali, yg pertama 250 juta, Iswadi dikasih 25 juta, dan yang kedua Rp 392 juta, Iswadi dikasih Rp 27 juta.
Dan Iswadi siap bertanggung jawab dengan uang yang dikasih sebesar Rp 52 juta, dan sampai diproses hukumpun siap.
Oleh karena itu HS tidak perlu berkelit hanya untuk menyulitkan diri sendiri sebab delik pemberantasan korupsi materiil yang sifatnya negatif yakni tindakan pejabat yang terbukti melawan hukum dan penyalagunaan wewenang merugikan negara.
Disini negara mengalami kerugian karena pengeluaran negara untuk membayar dana sertifikasi yang menjadi hak para guru diduga diembat HS dkk di dinas PKO. Jadi berbicara HS atau tidak uang itu sudah kurang logik dan argumentatif sebab ini bukan perkara pidana umum.
Pertanyaan jika tidak ambil uang itu lalu ada dimana dimakan TUYUL ya??? HS, Iswadi programer dan Irma bendahara yang paling tahu keberaaan uang itu.
HS mengatakan ada surat kuasa khusus pemotongan utang dari guru kepada kepada dirinya untuk diserahkan kepada KSP Nasari.
Kami sudah membaca Perjanjian KSP dan oknum guru dalam sub judul “Kuasa Kuasa” Pasal 7 angkat 2 dan angkat 4 jelas diuraikan. Angkat 2 yakni peminjam (guru) memberikan kuasa dan wewenang penuh kepada KSP Nasara unk melakukan debit ke rekening peminjam.
Angkat 4, diberikan hak kepada KSP Nasari untuk mendebet langsung ke rekening pemimjam (no. Rek 000124 dstnya) di Bank NTT.
Pertanyaannya, atas dasar apa HS mengatakan ada surat kuasa pemotongan sebagai alas hak HS melakukan pemotongan uang para guru? Jika tidak ada alas hak (hukum), maka dalam hukum pidana umum jelas adanya dugaan penggelapan dalam jabatan Pasal 374 KUHP.
Tetapi karena peristiwa hukum ini adalah dugaan penggelapan uang negara, maka ada dugaan akan kena Pasal 2 UU Tipikor. Jika dalam pemeriksaan ditemukan uang itu lari ke tangan HS, maka diduga penyalagunaan wewenan Pasal 3 UU Tipikor. Dan, perlu dipahami Pasal 2 UU Tipikor ancaman pidananya lebih tinggi.
Kasus ini sudah terang benderan kajian hukumnya. Jadi hadapin saja tidak perlu berputar dan berkelit karena Is sudah siap kembalikan Rp 52 juta yang diperoleh katanya atas pemberian HS dan siap hadapin kasus ini.
Mau sumpah mau sumpah pocongpun Iswadi siap (hanya ini berlaku unk perkara waris Islam bukan dalam korupsi).
Artinya ada keyakinan penyidik dan terutama hakim ketika perkara ini lanjut di Pengadilan Tipikor Kupang adanya mens rea, actus reus serta meeting of minds terutama HS, Iswadi dan Irma.
Dan, Pasal 55 KUHP sudah pasti karena dugaan korupsi selalu berjamaah ( bersama- sama)