MENGENANG P. KURT BARD SVD: MISIONARIS DARI THELEY (1)
Oleh: Stefanus Wolo Itu
Imam Projo KAE, Misionaris Fidei Donum Di Keuskupan Basel Swiss
Hari Rabu, tanggal 16 Maret 2022 jam 13.35 waktu Indonesia tengah P. Kurt Frans Bard SVD meninggal dunia. Almarhum langsung dikuburkan di pemakaman kemah Tabor Mataloko. Saya tidak terlalu terkejut dengan kepergian beliau. Beberapa bulan terakhir P. Kurt menderita stroke. Saya mengikuti perkembangan kesehatan beliau. P. Patris Pa selalu menginfokan keadaan P. Kurt di grup klerus KAE dan Alumni seminari Mataloko.
Kami semua diminta untuk memberikan dukungan doa. Ketika P. Kurt berada di rumah sakit TC Hillers Maumere, senior alumni seminari Mataloko kae Thobias Djaji menginisiasi aksi belarasa untuk P. Kurt di grup Alsemat Nusantara. Kami menyambut baik inisiatif ini dan mendukung aksi belarasa dengan sukacita.
Saya sendiri bukan murid pater Kurt di seminari Mataloko. Tapi sebagai anak paroki Mataloko, saya mengenal beliau sejak tahun 1970 an. Pater Kurt sering merayakan ekaristi di kampung saya Wolorowa-Sarasedu. Tahun 1987-1989 saat berada di seminari Mataloko, saya sering menjumpai P. Kurt di kemah Tabor. Selanjutnya sejak tahbisan tahun 1997 hingga 2013, hampir setiap tahun saya bertemu P. Kurt di kemah Tabor saat retret atau pertemuan-pertemuan pastoral keuskupan Agung Ende.
P. Kurt pernah menyelamatkan saya. Saya mengalami kesulitan pribadi tahun 2003. Saya bingung mencari jalan keluar yang tepat. Saya mendatangi P. Kurt di kemah Tabor dan berbagi ceritera tentang kesulitan saya. Beliau memberi saya nasihat sejuk dan jalan keluar. Terakhir kali saya bertemu P. Kurt di Mataloko bulan Juli tahun 2016. Saya menghantar teman, Pierre Bühler dari Swiss untuk menginap di sana. Saya menceriterakan pengalaman setahun di Sankt Augustin Jerman dan karya misi di Swiss.
P. Kurt Bard: Misionaris Dari Theley-Saarland
Di kemah Tabor saya sempat menanyakan kampung asal P. Kurt di Jerman. Letak kampungnya tidak jauh dari Sankt Wendel, negara bagian Saarland, dekat perbatasan Perancis dan Luxemburg. (1)
Di Sankt Wendel ada rumah misi SVD dan di dalamnya ada sekolah, museum, gereja Sankt Wendel, rumah jompo dan pekuburan para misionaris.
Saat mengikuti kursus bahasa Jerman di Sankt Augustin Nopember 2013-Nopember 2014, saya pernah ke Sankt Wendel. Saya mengunjungi makam P. Leo Naber(pendiri gereja dan pastor paroki pertama Wolotopo-Ende) dan makam P. Josef Rieger, dosen Kitab Suci kami di STFK Ledalero(teman kelas Rm. Marsel Lilo Babajara di Sankt Agustin Jerman tahun 1960).
Bersama P. Vinsen Gunawan, Rm. Yosef Langga, Altus Jebada, Vian Lein, kami juga menjenguk P. Paul Klein (mantan dosen moral kami di STFK Ledalero)yang saat itu duduk di kursi roda.
Dan tak lupa kami mengunjungi P. Ignas Maros SVD asal Lembor-Manggarai yang saat itu mengajar di Gymnasium Sankt Wendel, almamater P. Kurt Bard tahun 1950 an.
Ignas mengenakan jas lengkap, dan menyambut kami dengan gitar dan lagu „Tears in Heaven“nya Eric Clapton. Ekspresinya luar biasa, sambil mengedip-ngedipkan matanya.
Pater Kurt Bard berasal dari kota kecil Theley. Jaraknya sekitar sepuluh kilometer dari Sankt Wendel. Ya, hampir sama dari kampung saya Wolorowa ke Mataloko. Kota Theley kecil tapi indah. Jumlah penduduk saat ini sekitar tiga ribuan. Letak kota Theley sangat strategis, karena berada di bawah kaki gunung Schaumberg, bukit tertinggi di negara bagian Saarland. Sebuah menara berdiri tegak di atas gunung Schaumberg.
Gunung Schaumberg merupakan bekas gunung api. Di sekitar gunung ini terdapat banyak cadas dan batu bara.
Pater Kurt Bard menceriterakan bahwa dia berasal dari keluarga sederhana. Ayahnya seorang buruh pertambangan batu bara. Setiap hari sang ayah harus masuk ratusan meter ke dalam perut bumi.
Kota Theley juga sering disebut Tholey, dari kata Celtic „dol“ yang artinya luar biasa dan „ley“ yang artinya tebing atau lereng.
Tholey artinya kota yang terletak di lereng atau tebing yang luar biasa keindahannya. Theley juga strategis karena berada di persimpangan dua jalan utama Metz-Mainz di satu sisi dan Strasbourg-Trier di sisi lain.
Kota Theley kaya akan tradisi dan sejarah. Sejak abad keempat orang-orang Celtic sudah menghuni kota ini.
Pada tahun 610, Santo Wendelin dari Trier mendirikan biara dan menjadi kepala biara Tholey yang pertama. (2)
Biara ini merupakan biara tertua di wilayah Jerman. Tahun 1200 orang-orang Celtic membangun benteng untuk melindungi biara dan kota Theley.
Sayang sekali Tahun 1631 orang-orang Swedia menghancurkan Theley. Saat revolusi Perancis 1789-1799, tepatnya 1794 biara Theley dihancurkan dan biara dibubarkan.
Para biarawan diusir dan semua properti biara dilelang. Setelah perang dunia kedua, tahun 1949 para biarawan dari Trier mendirikan dan memulai lagi biara di Theley.
Sejak abad ke 18 terdapat komunitas orang Yahudi di Theley. Jumlah mereka kurang lebih sembilan persen dari keseluruhan jumlah penduduk.
Mereka memiliki sinagoga dan sekolah Yahudi. Sayang sekali pada jaman Nazi sekolah dan sinagoga dihancurkan. Banyak orang Yahudi terbunuh dan sisanya meninggalkan Theley.
Secara religius mayoritas penduduk Theley beragama Katolik Roma. Mereka masuk wilayah gerejani keuskupan Trier, keuskupan tertua di Jerman.
Umat Theley memiliki satu gereja dengan gaya arsitektur gotik: Gereja Sankt Peter. Gereja ini mulai dibangun pada 6 Juni 1892 dan selesai 4 Juli 1895. Orang Theley hidup dengan tradisi kekatolikan.
Tradisi ini ditandai dengan kehadiran pelbagai kelompok koor, seperti koor anak-anak, koor orang muda dan koor orang dewasa. Mereka juga memiliki orkes musik tiup, kelompok teater dan kelompok penyelenggara pesta karnaval.
Orang-orang Theley juga memiliki grup-grup olah raga. Olah raga yang paling populer adalah bola kaki. Selain bola kaki, seperti halnya orang-orang Eropa lainnya, mereka memiliki grup senam, grup sepeda, grup berenang, grup tembak dan grup bola basket.
Di lereng Theley inilah pada 11 Pebruari 1934 Pater Kurt hadir ke dunia. Di sana Kurt bertumbuh dan terpanggil menjadi misionaris.
Setelah melewati proses pendidikan di seminari menengah Sankt Wendel, pendidikan filsafat di Sankt Gabriel Mödling Austria, tahbisan imam tahun 1963, teologi dan kateketik di München tahun 1965, ia meninggalkan bumi Eropa dan orang-orang tercinta.
Tanggal 20 an Juli 1965 P. Kurt berangkat dari Italia dan tiba di Jakarta 13 Agustus 1965. Dari Jakarta, dengan kereta mereka menuju Surabaya. Dari Surabaya dengan kapal Ratu menuju Maumere-Ledalero.
Dari Ledalero selanjutnya ke Ende untuk kursus bahasa Indonesia pada P. Pit Petu. Setelah 30 hari di Ende dia diutus ke Hokeng dan mengabdi di sana selama 2 tahun. (Bersambung)