Tanah Eks HGU di Sikka Berawal Dari Hasil Rampokkan

MAUMERE, GlobalFlores.com – Polemik dan protes keras warga masyarakat adat Tana Ai Suku Soge Natarmage dan Suku Goban Runut,dalam mempertahankan tanah ulayatnya, menyebutkan bahwa tanah eks Hak Guna Usaha (HGU) Nangahale, Dusun Lodong, Desa Runut, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka, NTT, itu berawal dari hasil perampokan Hindia Belanda.
Hal ini disampaikan, pendamping warga, Yohanis Bala S.H, Rabu (16/2/2022) di Maumere.
Pria yang disapa Jhon menjelaskan, bahwa tanah yang berstatus tanah negara bekas HGU saat ini adalah tanah yang berasal dari hasil perampokan pemerintahan Kolonial Belanda dari masyarakat adat Tana Ai Suku Soge-Natarmage dan Suku Goban-Runut.
Masyarakat adat kata Jhon memilik bukti-bukti hak adat di atas tanah negara bekas HGU tersebut seperti, cerita sejarah penguasaan secara turun-temurun, cerita sejarah perlawanan, tanda batas wilayah, situs budaya, dan tempat-tempat yang dikeramatkan di atas tanah tersebut.
“Keterkaitan masyarakat adat dengan tanah negara bekas HGU tersebut adalah hubungan sejarah asal-usulnya. Kalau masyarakat adat menyebutkan tanah negara bekas HGU itu sebagai tanah adat walaupun saat ini telah menjadi tanah negara bekas HGU tapi awalnya berasal dari keturunan mereka, “kata Jhon.
Menurut hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku kata Jhon, sebagai subyek hukum, kedua masyarakat adat Tana Ai suku Goban Runut dan dan Suku Soge Natarmage, tidak pernah ada atau belum lahir, dan opbyek hukum disebut tanah ulayat atau tanah adat tidak diakui oleh negara merupakan penghinaan terhadap fakta sopsial budayua tentang keberadaan masyarakat adat, tentang asal usul dan pengakuan dalam konstitusi negara.
“Hasil anaslisi yuridis menyimpulkan antara lain: Pemerintah Kabupaten Sikka belum menetapkan Peraturan Daerah tentang Masyarakat Adat, (sehingga secara hukum kedua Masyarakat Adat yang mengklaim belum diakui keberadaannya).
Ini adalah “kecelakaan logika dan merupakan logika sesat konstitusional yang akut,ujar Jhon.
Menurut Jhon, pengakuan negara terhadap keberadaan masyarakat adat itu ada dalam UUD’45. Peraturan setingkat UU ataupun di bawah UU seperti: Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Menteri dan Peraturan Daerah adalah perintah implemnatasi dari UUD’45.
Jangan menggunakan logika “jungkir balik”, seolah-olah Peraturan Daerah dapat membatalkan UUD’45.
Dikatakannya masyarakat adat Tana Ai Suku Soge-Natarmage dan Suku Goban-Runut sebagai warga negara berdasarkan hak asal-usulnya memiliki kesempatan untuk memperoleh Tanah Nagara bekas HGU yang sebelumnya adalah milik nenek moyangnya.
“Kata “dapat” dalam rumusan kalimat hukum pada pasal 55 ayat (3) tersebut bersifat fakultatif dan bukan bersifat imperative (harus). Jadi antara kepentingan masyarakat adat Suku Soge-Natarmage dan Suku Goban-Runut dengan PT. Krisrama statusnya sama. Tidak ada yang harus diprioritaskan mendahului yang lain dalam hal waktu penetapan hak,”kata Jhon.
Jhon menambahkan, jika masyarakat adat menolak ide Pemerintah Daerah untuk pembagian tanah negara bekas HGU hanya 2 blok yaitu, Blok HGU dan Blok pemerintah cukup beralasan.
Karena dari penjelasan peraturan ini tampak dimungkinkan untuk dilakukan distribusi sekaligus dengan luasan masing-masing yaitu, Blok HGU dan blok masyarakat adat serta blok konservasi dan blok tanah cadangan negara.
PT. Krisrama lanjut Jhon, mengaku bahwa salah satu alasan penundaan pengurusan ijin pembaruan HGU karena adanya protes dan keberataan dari masyarakat adat suku suku Soge-Natarmage dan Suku Goban-Runut. Itu berati ATR dan BPN menunda karena menghormati dan mengakui keberadaan masyarakat adat Suku Soge-Natarmage dan Suku Goban Runut sebagai warga negara yang sama haknya di hadapan hukum.
“Dalam keseluruhan proses penyelesaian pada tahap satu ini, tampak bahwa pemerintah demikian akrab dan memberikan perlindungan kepada PT. Krisrama, ketimbang netral menyelesaiakan masalah,”kata Jhon. (rel)