Ketika Orang Swiss Diajak Ke Kampung Wolorowa,Ngada
Citizen journalism
Oleh: Stefanus Wolo Itu
Imam Projo KAE, Misionaris Di Keuskupan Basel Swiss
Saya rencana liburan September tahun depan. Saya ingin pulang kampung dan mengalami lagi suasana kampung. Saya ingin mensyukuri hidup imamat dengan kemasan ala kampung yang bercirikan kesatuan dan kesederhanaan. Keduanya merupakan sumber keindahan sejati seorang imam dari kampung.
Kita masih bergumul dengan Pandemie. Pandemie telah memporakporandakan semua segi kehidupan. Situasi ini menuntut saya untuk secara arif mengelola keinginan berpesta. Sebagai imam gereja lokal saya mesti menjadi penggerak untuk mewujudkan amanat MUSPAS VIII yang lalu.
Saya merayakan jubileum imamat di tengah proses Sinode para Uskup ke XVI, Oktober 2023. Paus Fransiskus mengajak kita untuk berjalan di jalan yang sama. Jalan untuk membangun persekutuan, menggerakan partisipasi dan menjalankan misi.
Paus menekankan tiga kata kerja „berjumpa, mendengarkan dan melihat ke dalam“. Paus mengajak kita untuk menjadi ahli dalam seni perjumpaan dengan Tuhan dan sesama, mendengar satu sama lain dengan hati, melihat ke dalam dan menemukan harapan Allah pada kita.
Saya coba mendengar suara dari kampung. Ada banyak keinginan untuk secara gegap gempita merayakan jubileum imamat. Saya menjawab tegas. Jubileum mesti mempertimbangkan situasi Pandemie, menjawabi amanat Muspas KAE dan ajakan Paus.
Ada satu harapan lucu dari anak-anak saya di kampung. „Bapak Romo, bawa serta orang Swiss ke kampung kita!“, kata mereka. Saya balik bertanya: „Mereka menginap dimana?“ „Di rumah-rumah adat kita. Mereka belajar budaya kita. Kita belajar pola pikir dan cara mereka mengelola kehidupan“, jawab mereka. Saya mengapresiasi antusiasme mereka.
Kampung kami sederhana, tapi masih memiliki warisan budaya seperti rumah-rumah adat, madhu, bhaga, nabe dan ture. Pertama, rumah-rumah adat di Wolorowa. Semua rumah adat memiliki nama dan nama itu mencerminkan jati diri kami. Sao Benu Wali, Tiwu Wali, Mai Wali memberi pesan menjaga keutuhan, kepenuhan, keterbukaan dan persaudaraan.
Sao Milo Wali dan Milo Lina memberi pesan kebersihan, keindahan dan kemurnian. Sao Gili Bela dan Gili Wali bermakna pengayoman dan perlindungan. Sao Tere Molo dan Molo Mai membawa pesan kebenaran dan kebaikan. Sao Laja Meze yang artinya rahim yang luas membawa pesan hidup dalam kehangatan kasih.
Sao Bale memberi pesan perdamaian. Bale artinya berubah. Perjumpaan di sao Bale selalu membawa damai. Ada Sao Rajo Ringa. Rajo artinya perahu dan ringa artinya api atau perapian. Ada pesan kehangatan dan cahaya, terang.
Kita sudah mempunyai rumah. Rumah kita bisa jadi Homestay sederhana. Kita perlu menata secara lebih baik. Orang Swiss tidak membutuhkan rumah lux dan mewah. Mereka membutuhkan rumah dengan dapur, MCK dan kamar bersih. Mereka membutuhkan makanan dan minuman sehat.
Kita menjadikan rumah kita sebagai sekolah budaya bagi orang Swiss. Kita menjelaskan unsur dan makna bangunan rumah adat. Kita menunjukan asesoris warisan leluhur seperti emas, perak, gong gendang, pakain adat, tanduk kerbau, rahang babi. Itu simbol status gengsi dan peradaban leluhur kita.
Kita juga memperkuat sumber daya setiap rumah. Saya mengajak kita menengok rumah adat masing-masing. Kita membuat evaluasi tata kelola kehidupan. Kita memperkuat solidaritas pendidikan dan berjuang bersama sejak awal. Jangan tunggu saat pesta wisuda atau menerima belis pernikahan.
Orang Ethiopia bilang: „Ketika laba-laba bersatu, mereka bisa mengikat seekor singa“. Ketika kita bersatu, kita bisa melakukan pekerjaan besar, termasuk membiaya pendidikan anak.
Kedua, Madhu Ratu Galu masih kokoh berdiri di tengah kampung. „Kita mula madhu tau tubo lizu, kabu wi rawe nitu, lobo wi so‘i dewa. Kita menanam tiang sakral sebagai penyangga langit, akarnya tertanam kokoh ke dalam bumi, ujungnya menjulang mencapai yang illahi“. Madhu adalah tiang kayu beratap alang, ijuk dan berbentuk payung. Madhu merupakan tiang suci pemersatu yang melambangkan leluhur laki-laki.
Ketiga, Bhaga Roja Naru masih setia mendampingi Madhu Ratu Galu. Bhaga adalah rumah kecil, yang melambangkan leluhur perempuan. Bhaga adalah tempat suci ibu asal. Madhu dan Bhaga merupakan simbol pasangan suami istri leluhur kita. «Madhu ne’e Bhaga wi rada masa kisa nata. Artinya madhu dan bhaga menaungi dan menjaga persatuan kampung.
Keempat, tak jauh dari madhu dan bhaga ada nabe Fa Masa. Nabe adalah altar kurban dari batu ceper berukuran besar. Fa Masa artinya menyejukan semua. Leluhur kita membawa kurban di altar Fa Masa untuk menjaga kesejukan dan persaudaraan dalam kampung.
Pada dasawarsa 1960-1980 an orang Wolorowa memiliki grup musik Fa Masa. Undangan pesta sering terlena mendengar alunan musik Fa Masa. Apalagi menjelang ayam berkokok. Pasangan dansa muda mudi terbuai sambil membisikan kata cinta.
Kelima, ture liko roga mengelilingi kampung Wolorowa „Ulu fa masa eko rada mude“. Dewasa ini manusia berkembang dan kampung meluas mulai dari Hedhamude hingga Pogo, Rutowoghe, Hobo dan Matawae. Orang Wolorowa sudah menyebar ke seantero dunia.
Kehadiran simbol-simbol budaya memperkokoh persaudaraan. Kampung Wolorowa ibarat bahtera yang kokoh. Meski sering dihempas angin dan taufan kami tetap bersatu. Saya minta mereka selalu mendendangkan „Gereja Bagai Bahtera“(MB.518) Reffrainnya: „Mari bersatu, mari berpadu, dalam satu iman, dalam Kristus Tuhan, sampai ke tujuan“.
Bersyukur Dan Mempelopori Perubahan
Saya ingin pulang kampung untuk merayakan syukuran 25 tahun imamat. saya bersyukur untuk semua suka duka imamat. Saya juga memohon berkat Tuhan untuk tahun-tahun selanjutnya. Doa saya tak lain memohon kebijaksanaan, rahmat kerendahan hati, semangat pelayanan, sukacita dan kesetiaan.
Syukur dan permohonan ini tentu dibingkai dalam doa ekaristi bersama. Doa dan ekaristi di gereja dan kapela. Kita merayakan jubileum. Jubileum berakar dari kata Ibrani „Yobel“. Yobel sebenarnya tanduk domba jantan yang diolah menjadi alat musik nafiri. Musik nafiri memanggil orang Israel untuk mensyukuri karya Agung Tuhan. Tuhan telah membebaskan mereka dari perbudakan Mesir, bahaya laut merah dan padang gurun.
Orang Wolorowa tidak memiliki Nafiri tanduk domba. Kami mempunyai „Nafiri Foi Doa atau Nafiri Suling Gandeng“ yang ditiup Sang Maestro Daniel B. Watu dengan iringan musik bambu oleh Trio Putera Geze Ngao, Dwi Putera Buku Pere dan Dwi Putera Due Dhogi.
Inilah nafiri panggilan imamat kami. Nafiri yang mengiringi tahbisan dan syukuran imamat 1987-2004. Nafiri yang memanggil orang Wolorowa diaspora pulang kampung. Nafiri ini juga yang akan mengiringi doa-doa kita memohon panggilan baru dari rahim Sarasedu.
Imam adalah Alter Kritus, karena itu jubileum imamat mesti berakar pada peristiwa Jesus. Jesus menyelamatkan manusia lewat pengorbanan salib. Jubileum imamat mesti menjadi pesta iman dan kesempatan berbelarasa dengan sesama warga kampung. Kita perlu membebaskan diri dari perbudakan gengsi sosial budaya, mencegah pemborosan dan memutuskan mata rantai hutang piutang budaya.
Kita merayakan jubileum sebagai kesempatan membangun kesadaran bersama untuk memperbaiki perilaku sosial yang tidak selaras jaman. Imam mesti menjadi pelopor perubahan. Imam harus berani mengatakan TIDAK terhadap keluarga tentang cara hidup yang membelenggu kemajuan.
Pasti sulit menerima terobosan ini. Kita harus mulai ! Saya ingat kata-kata Mahatma Gandhi : « Kemampuan kita untuk membuat terobosan bernilai akan menjadi keindahan dan ujian bagi peradaban kita ».