Penyidik Polres Sikka Terkesan Menyalagunakan Wewenang Dengan Tidak Menahan Pelaku Pemerkosa
Oleh Marianus Gaharpung, Dosen FH Ubaya dan Lawyer Surabaya
Itulah kenyataan yang sering diterima warga pencari keadilan ketika berhadapan dengan aparat penegak hukum. Dengan kewenangan yang diberikan oleh undang undang sebagaimana diatur dalam KUHP maupun KUHAP ternyata bisa saja menimbulkan penafsiran “bebas” dari aparat penegak hukum dalam menahan terduga pelaku tindak pidana. Hal ini terjadi ketika Sergius Susar, bapak kecil RR (16) korban pemerkosaan asal Egon Gahar Sikka meminta kepada pihak Penyidik Polres Sikka untuk segera menangkap pelaku pelaku pemerkosa terhadap keponakannya.
Permintaan Sergius sangat beralasan lantaran pihak korban dan pelaku masing-masingnya sudah dilakukan pemeriksaan oleh Penyidik Polres Sikka. Mengapa penyidik Polres tidak segera menahan ada alasan apa yang sungguh mempengaruhi sehingga pelaku pemerkosa belum ditahan? Apakah pelaku ini ada backing orang dalam di Polres Sikka sehingga setelah diperiksa penyidik masih berkeliaran bebas hirup udara bebas diluar dengan tanpa beban atas kesalahannya?
Padahal sebagaimana pengaturan dalam KUHAP bahwa penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam melakukan penahanan harus didasarkan pada bukti yang cukup dan persyaratan lain yang diatur dalam KUHAP. KUHAP sendiri mengenal dua syarat dalam melakukan penahanan.
Pertama, Syarat Objektif
dimana syarat penahanan objektif memiliki ukuran yang secara tegas diatur dalam undang-undang. Pengaturan terkait Syarat Objektif dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP, yang mengatur bahwa penahanan hanya bisa diberlakukan kepada tersangka maupun terdakwa yang melakukan tindak pidana dan/atau percobaan tindak pidana, serta pemberian bantuan dalam hal tindak pidana yang diancam dengan hukuman penjara lima tahun atau lebih; atau
tindak pidana yang diatur dalam Pasal 282 ayat (3), Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1), Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455, Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 KUHAP, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie, Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4 Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi, Pasal 36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47 dan Pasal 48 Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
Kedua, Syarat Subjektif dimana syarat penahanan subjektif merupakan syarat yang bersumber dari penilaian dan kekhawatiran penyidik bahwa jika terdakwa tidak ditahan maka terdakwa akan kabur, akan merusak atau menghilangkan bukti, dan bahkan akan mengulangi tindak pidana tersebut.[2] Pengaturan syarat subjektif ini dapat ditemukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP, yang menyatakan:
“Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.”
Ketentuan hukum bagi terduga pelaku pemerkosa anak dibawah umur adalah sanksi bagi pelaku pemerkosaan anak di bawah umur adalah kurungan selama 5-15 tahun dengan denda maksimal 5 miliar. Hal ini tertuang dalam Pasal 81 Undang-undang nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Atas dasar ketentuan tersebut, sangat tidak beralasan dan diduga melakukan tindakan penyalagunaan wewenang oleh aparat penyidik Polres Sikka sampai saat ini belum melakukan penahanan terhadap terduga pelaku pemerkosa anak usia 16 tahun yang terjadi di desa Egon Gahar Sikka. Alasannya secara terang benderang penyidik Polrea Sikka telah diduga melanggar unsur obyektif dari adanya alasan penahanan sebagaimana pengaturannya dalam KUHAP yang wajib melakukan penahanan.