Percetakan Arnoldus Ende: Perjalanan Panjang Dalam Dunia Percetakan Di Indonesia Timur

Oleh:Maria Azzunta Sansila,Mahasiswa STIPAR Ende
Sebagai salah satu percetakan tertua di Indonesia Timur, Percetakan Arnoldus telah berperan penting dalam dunia percetakan sejak berdiri pada tahun 1926.
Berlokasi di Jalan Katedral, Kelurahan Potulando, Kecamatan Ende Tengah, Kabupaten Ende, Nusa Tenggara Timur, percetakan ini didirikan oleh Pater Petrus Noyen, SVD.
Dengan pengalaman panjang, percetakan ini terus berkembang dan menghadirkan buku-buku yang berkualitas yang memenuhi kebutuhan literasi masyarakat.
Untuk memahami lebih dalam tentang proses percetakan di Percetakan Arnoldus, Yohanes Longa, salah satu staf senior yang akrab disapa Jon, berbagi pengalamannya saat ditemui pada Senin, 3 Februari 2025.
Ia menjelaskan secara rinci tahapan yang dilalui dalam produksi buku, mulai dari awal hingga siap diedarkan.
Menurut Jon, tahap awal dalam proses pencetakan buku adalah penyuntingan dan persiapan naskah. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan pencetakan tetap bergantung pada pemesan.
“Tergantung dari pemesan, kalau pemesan mau cetak di bawah berarti dicetak, kalau tidak berarti tidak dicetak”, ujarnya.
Jon menjelaskan setelah penyuntingan selesai, tahap berikutnya adalah menentukan biaya cetak. Pemesan akan menanyakan harga pencetakan buku, dan pihak percetakan akan melakukan perhitungan biaya berdasarkan jumlah buku yang akan dicetak atau oplah yang dipesan.
Setelah kesepakatan tercapai, pemesan menyerahkan naskah yang akan dicetak. Dalam setiap tahapan ini, komunikasi yang intens sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan selama proses pencetakan.
Sebelum dicetak dalam jumlah besar, dilakukan tahap untuk uji coba guna memastikan tidak ada kesalahan dalam teks, warna, maupun tata letak. Jika ditemukan kesalahan, perbaikan akan dilakukan sebelum produksi massal dimulai.
“Kami sebagai operator harus membuat print outnya sesuai dengan yang pemesan mau. Nanti kalau ada perrubahan tulisannya akan diubah dan tinggal di proses. Jika ada perubahan naskah atau naskahnya rusak akan dibuat perbaikan,” ungkapnya.
Setelah biaya dan jumlah cetak disepakati, nakah masuk ke tahap desain dan tata letak untuk menyusun halaman dan merancang sampul agar tampilannya menarik dan nyaman dibaca.
Setelah semua tahap sebelumnya selesai, buku masuk ke proses pencetakan menggunakan mesin. Jon menjelaskan bahwa proses ini dimulai dengan mencetak hasil desain dari komputer ke mesin montase.
“Dari komputer akan diprint out ke mesin montase yang digunakan untuk mengubah kalkir ke seng plat. Setelah itu barulah dilakukan pencetakan. Setelah proses cetak selesai, tahap berikutnya adalah penjilidan lalu pengepakan yang dibuat untuk membungkus buku sebelum didistribusikan,” ungkapnya.
Jon menjelaskan bahwa lama waktu yang dibutuhkan dari awal penjilidan dan finishing dilakukan untuk memastikan kualitas buku ialah 3 bulan, karena dalam proses cetak tidak mungkin hanya mencetak satu buku. Biasanya, ju,lahnya bisa mencapai 5.000 hingga 6.000 eksemplar.
Setelah buku selesai dicetak, tahap berikutnya adalah distribusi. Buku-buku ini dikirim ke penerbit, yang kemudian menyalurkannya ke keuskupan di seluruh Indonesia.
“Setelah buku dicetak, kami akan mengantarkannya ke penerbit. Nantinya, mereka akan menghitung jumlah buku yang dibutuhkan oleh setiap keuskupan. Buku ini kemudian akan dikirim ke keuskupan di seluruh Indonesia, dan dari keuskupan akan didistribusikan ke paroki-paroki sesuai permintaan,” kata Jon.
Seiring perkembangan teknologi, industri percetakan menghadapi berbagai tantangan.
Menurut Jon, salah satu tantangan terbesar adalah semakin menurunnya jumlah pemesanan karena banyak orang kini memiliki alat cetak sendiri.
“Percetakan semakin sepi karena banyak orang sudah memiliki alat cetak sendiri. Tantangan pertama yang kami hadapi adalah saat pandemi COVID-19, di mana banyak karyawan terpaksa di-PHK. Tantangan berikutnya adalah kemajuan teknologi, yang membuat orang lebih memilih mencetak sendiri, kecuali untuk buku dalam jumlah besar seperti buku paket atau poster,” ungkapnya.
Saat ini, Percetakan Arnoldus masih terus menjalankan produksi untuk buku Yubilate dan Ibadat Harian, dua jenis buku yang masih memiliki permintaan tinggi di kalangan gereja dan umat Katolik.
Meski menghadapi berbagai tantangan, Jon tetap optimis bahwa percetakan ini akan terus berkembang. Ia menekankan pentingnya mengubah pola pikir dan strategi bisnis agar tetap relevan di era digital.
“Harapan saya agar percetakan ini terus maju adalah dengan mengubah pola pikir dan cara berbisnis. Kami harus bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman agar tetap bisa bersaing di industri percetakan,” tutupnya