Bangsa Indonesia Jangan Mau Dipimpin Orang Yang Meludahi Etik
Oleh Marianus Gaharpung, Dosen F.H Ubaya Surabaya
Wujud kasih sayang orangtua kepada anak dengan memelihara menstimulus anak menjadi pribadi yang beretika dan berhasil itu sangat manusiawi.
Sebaliknya, membiarkan anak bahkan dirinya juga melanggar etik dan hukum demi meraih kekuasaan bagi anak bukan sifat manusiawi.
Dalam sistem kerajaan peralihan tahta pemerintahan kepada putra mahkota lumrah. Karena sistem ketatanegaran kerajaan, raja identik dengan tuhan (causa prima). Titah raja adalah titah tuhan.
Publik tanah air sedang melihat drama ketatanegaraan kerajaan sedang dipertontonkan melalui proses pencalonan presiden dan wakil presiden oleh orang nomor 1 di republik ini.
Sehingga publik termasuk media asing menilai proses demokrasi pencalonan presiden (Pilpres) 2024 paling buruk sepanjang sejarah ketatanegaraan di era demokrasi yang sejatinya kekuasaan sepenuhnya berada di tangan rakyat.
Aktor utamanya “drama kerajaan” di era reformasi demokrasi dengan modus melanggar hukum dan etik pencalonan presiden wakil presiden diduga adalah Joko Widodo.
Hingar bingar ketidakpuasan publik termasuk dari dunia kampus dan para mahasiswa, kalangan rohaniawan dan toko agama.
Romo Magnis Suseno sampai mengeluarkan statemen “jangan mau dipimpin orang yang meludahi etik”.
Karena ada dugaan pemerintahan Joko Widodo menggunakan kewenangan konstitusional dengan cara melanggar hukum dan etik untuk memuluskan Gibran Rakabuming Raka putranya sendiri menjadi calon wakil presiden berpasangan dengan capres, Prabowo Subianto.
Publik menduga Joko Widodo sangat ambisi agar anak ini merebut kursi wakil Presiden dengan harapan suatu hari jadi presiden.
Dugaan pelanggaran hukum sebagai berikut.
Pertama, ada dugaan Joko Widodo tidak mampu membedakan lagi dirinya sebagai Joko Widodo atau presiden ketika menjadikan anaknya cawapres. Sehingga Jokowi sebagai presiden patut diduga melanggar Undang Uandang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara Yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) terkait skandal Putusan 090/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi (MK). Publik memberi stikma kepada anak Joko Widodo ini sebagai “anak haram” konstitusi.
Presiden Jokowi patut diduga telah melanggar aturan dalam Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 Pasal 22 yang berbunyi: “Setiap Penyelenggara Negara yang melakukan nepotisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat 4 dan 5, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 12 tahun dan denda paling sedikit 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar rupiah.
Kedua,Presiden Jokowi patut diduga melanggar Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Presiden Jokowi menyatakan secara terbuka sebagai presiden dapat melakukan kampanye.
Padahal jelas sesuai aturan hukum dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 yang dimaksudkan aturan dalam Pasal 299, presiden dan wakil presiden dapat berkampanye, dikaitkan dengan aturan dalam Pasal 301 bahwa presiden dan wakil presiden bisa berkampanye dalam hal maju lagi sebagai capres dan atau cawapres untuk periode kedua, sesuai aturan dalam konstitusi UUD 45.
Disamping ada pelanggaran etik yang dilakukan Anwar Usman sehingga diberhentikan dari jabatan sebagai Ketua MK karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik terkait uji materi perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 putusan oleh MKMK.
Putusan kontroversial itu meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai prasyarat cawapres. Joko Widodo sudah hilang etikanya sebagai kepala negara dengan membagi- bagi bansos kepada warga masyarakat di depan Istana Negara demi anaknya.
Samping itu, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Heddy Lugito (tengah) membacakan vonis terhadap Ketua KPU Hasyim Asy’ari terkait penerimaan pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai Bakal Calon Wakil Presiden dalam sidang putusan di DKPP, Jakarta, Senin 5 Februari 2024. DKPP memvonis Hasyim Asy’ari dan enam komisioner KPU lainnya melanggar etik dan Hasyim diberi sanksi peringatan keras terakhir, sementara enam komisioner KPU lainnya mendapatkan peringatan karena terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman penyelenggara Pemilu.
Alasannya, KPU menerima pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres menggunakan peraturan KPU sebelum adanya Putusan MK No. 90 tersebut.
Sejatinya pelanggaran hukum dan etik yang terjadi publik memprediksi semuanya demi meloloskan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka capres dan cawapres 2024.
Itu artinya proses capres-cawapres yang menjadi jalan Gibran maju dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 adalah yang terburuk sepanjang sejarah ketatanegaraan Tanah Air.
Walaupun Gibran lolos semua proses pencalonan wapres akan terus menjadi kenangan terburuk sepanjang masa.
Pantaskah, warga bangsa ini mempunyai Presiden dan Wakil Presiden hasil Pilpres 14 Pebruari yang mencederai hukum dan etik ?.