
(Catatan Perayaan Tahunan Bersama Kirche In Not)
Oleh Stefanus Wolo Itu
Imam Projo KAE, Misionaris Di Keuskupan Basel Swiss
Hari Minggu, 16 Januari 2022 lalu, saya menghadiri undangan dari Kirche In Not atau Aid to the Church in Need Swiss di kota Luzern. Kirche In Not adalah sebuah lembaga solidaritas kemanusiaan Katolik internasional. Lembaga kepausan ini berkonsentrasi membantu umat katolik yang tertindas dari pelbagai belahan dunia.
Saya mengenal lembaga ini bulan Mei 2017. Ketika itu mereka meminta dukungan umat paroki saya untuk karya Mgr. Klemens Pickel dari Keuskupan Saratow, Rusia Selatan. Mgr. Klemens bersama 40 imam dan 50 suster melayani 35 ribu umat katolik di sana. Salah seorang imamnya adalah P. Laurens Lemdel SVD, Misionaris dari Maumere-Flores Indonesia.
Sejak itu saya selalu berkomunikasi dengan kedua staf Kirche In Not Lucia dan Ivo dan pimpinan lembaga ini, Herr Jan Probst. Saya perlahan menjadi mitra kerja mereka. Sebagai mitra saya bersama umat paroki juga menggalang dana melalui kolekte mingguan, kolekte kematian dan intensi misa.
Di Swiss, kolekte-kolekte tidak dimasukan ke kas paroki, tapi disumbangkan untuk karya-karya sosial kemanusiaan.
Dan setiap tahun pada hari minggu ketiga Januari, saya diundang menghadiri perayaan ekaristi di gereja Jesuit, Luzern. Ada dua intensi penting dalam perayaan itu. Pertama, kami mengenangkan Pater Werenfried van Straaten yang lahir 17 Januari 1913 di Mijdrecht Amsterdam Belanda dan meninggal 31 Januari 2003 di Königstein-Taunus Jerman.
Kami juga mendoakan arwah dan memasang lilin untuk orang-orang Katolik sedunia yang meninggal karena penganiayaan. Kedua, kami makan bersama dan mendengar laporan kegiatan tahunan.
Keprihatinan Situasi Pasca Perang Dunia II
Pater Werenfried van Straaten adalah pendiri Kirche In Not. Beliau mendirikan lembaga ini pada bulan Desember 1947 di Belgia. Awalnya beliau memberikan nama „Ostpriesterhilfe“ atau bantuan imam-imam dari Belanda dan Belgia untuk para pengungsi dari wilayah Jerman Timur. Beliau mengalami situasi perang dunia kedua dan menyaksikan kesulitan hidup pasca perang.
Empat belas jutaan warga dari wilayah Jerman Timur mengungsi ke wilayah Jerman Barat hingga perbatasan Belanda dan Belgia. Enam juta diantaranya adalah orang-orang Katolik. Mereka mengalami kesulitan tempat perlindungan, pakaian, makanan, obat-obatan dan pendampingan rohani. Karena itu P. Werenfried menggalangkan bantuan kemanusiaan untuk mereka.
P. Werenfried menyerukan rekonsiliasi pasca perang. Desember 1947 beliau menulis sebuah artikel berjudul „Frieden auf Erden? Kein Platz in der Herberge“. Artinya „Damai di Bumi? Tak Punya Tempat Di Penginapan“. Dia memberikan dukungan spiritual untuk para pengungsi. Sejak tahun 1950 an dia mengorganisir pelayanan rohani untuk mereka.
Para pengungsi itu menyebar ke pelbagai tempat. Mereka tidak memiliki tempat ibadat dan pelayan rohani. Pater Werenfried menghidupkan „Kapellenwagenaktion“ yaitu aksi menjadikan kereta dan truk-truk besar sebagai tempat perayaan ekaristi dan pelayanan rohani sementara. (Foto Kereta sebagai kapela sementara)
Beliau juga menghidupkan „Rucksackpriester atau Pastor Ransel“, yakni mengorganisasi para imam untuk mengunjungi tempat-tempat pengungsian dengan sepeda atau sepeda motor. Mereka mengisi ransel dengan perlengkapan ekaristi, pakaian, obat-obatan dan makanan.
Dalam perjalanan waktu karya „Ostpriesterhilfe“ semakin meluas. Pelayanan mereka menjangkau Eropa Timur(1952), Timur Tengah(1955), Asia(1961), Amerika Latin(1962) dan Afrika(1965). Tahun 1969 lembaga ini berganti nama menjadi „Kirche In Not atau Aid to the Church in Need“ hingga hari ini. Tahun 1984, lembaga ini mendapat pengakuan dari tahta suci.
Tahun 1989, setelah perubahan politik di Eropa Timur, Kirche In Not mendukung evangelisasi baru di negara-negara eks blok Timur. Tahun 2007 Paus Benediktus XVI meminta mereka membantu Timur Tengah. Tahun 2011 Paus Benediktus mengesahkan Kirche In Not sebagai lembaga resmi kepausan dan menunjuk Mauro Kardinal Piacenza sebagai presidennya.
Kirche In Not terus memperluas jaringan solidaritas kemanusiaan. Sejak 2011 Kirche In Not membantu Suriah dan Irak(2014). Tahun 2017-2020 Kirche In Not membangun kembali Katedral Allepo di Suriah.
Dan di masa Pandemie Global, Kirche In Not memberikan bantuan darurat untuk ribuan keluarga di Libanon. Tahun 2021 mereka membangun kembali 14 ribuan tempat tinggal, gereja dan sarana peribadatan lain di Irak dan membantu korban gempa di Haiti.
Mereka tidak menerima hibah pemerintah atau dana pajak gereja. Setiap tahun mereka menerima sumbangan dana dari 330.000 an donatur yang berasal dari 23 negara.
Mereka mendukung 5000-an projek kemanusiaan di 140 negara. Pada tahun 2020 Kirche In Not memperoleh sumbangan sangat signifikan yaitu sekitar 123 juta Euro. Swiss sendiri menyumbangkan 7,2 juta Euro.
Kirche In Not mencatat sekitar 200 jutaan orang kristen yang menderita perlakuan diskriminatif, penindasan regim politik dan tekanan sosial kelompok mayoritas. Mereka membantu pendidikan calon imam, formasi kaum religius, kaderisasi awam dan karya para imam. Mereka mendukung penyebaran iman melalui media komunikasi(radio, televisi, film dokumenter), bantuan buku-buku agama dan distribusi alkitab.
Mereka juga membantu pembangunan, renovasi gereja dan sarana transportasi untuk para pelayan pastoral. Mereka mengorganisir bantuan darurat perang, kekerasan, bencana alam dan pengungsian.
Mereka mengadvokasi orang-orang Kristen yang mengalami penindasan dari institusi-institusi publik. Intinya mereka menggalang solidaritas kemanusiaan untuk orang-orang Katolik yang tertindas.
Lilin Solidaritas Kemanusiaan Rufinus Tigau
Setiap tahun Kirche In Not menghadirkan selebran utama yang berbeda. Mereka mengundang Kardinal, Uskup atau imam dari pelbagai kawasan. Perayaan ekaristi kali ini dipimpin oleh Mgr. Joseph Maria Bonnemain, Uskup Keuskupan Chur Swiss yang ditahbiskan 19 Maret 2021. Uskup berusia 74 tahun ini adalah seorang dokter dan ahli hukum gereja yang bersahaja. (Foto Saya dan Uskup Josef Bonnemain)
Perayaan kali ini tanpa kelompok paduan suara. Ya karena situasi Corona. Tapi seorang penyanyi tunggal, Silvia Widlin menyanyikan lagu-lagu Jodel dengan iringan Handharmonica atau harmonika tangan. Jodel adalah nyanyian khas penduduk pegunungan Alpen. Perayaan berlangsung hikmat dan disiarkan langsung oleh Radio Maria dan Radio Gloria Swiss.
Ada satu hal yang menggelitik saya saat doa umat. Pembaca doa umat, Lucia Wicki membacakan doa umat untuk Rufinus Tigau.
Rufinus Tigau adalah katekis Paroki Bilogai, Keuskupan Timika-Papua Indonesia. Tanggal 26 Oktober 2020 beliau menjadi korban kekerasan oknum aparat kepolisian. Dia dicurigai memberikan makanan untuk kelompok gerakan Papua merdeka.
Sebelum ditembak Rufinus sempat mengajak polisi berdialog: „Bitte hören Sie auf zu schiessen, lassen sie uns in Ruhe reden! Atau tolong berhenti menembak. Mari kita berbicara dengan tenang“. Ein Polizist richtete die Waffe auf ihn streckte ihn nieder. Tapi seorang polisi menodongkan pistol dan menembaknya.
„Herr, gib allen den Mut, sich für den Frieden und für Dialog einsetzen, auch dann wenn es aussichtslos erscheint. Schenke uns die Gabe auch unseren Feinden mit Liebe begegnen zu können. Diese Kerze wird alle brennen Menschen, die sich gegen Hass, Verfolgung und für Dialog einsetzen“.
Artinya „Tuhan, berilah semua orang keberanian untuk membangun dialog dan perdamaian, bahkan ketika sudah tiada harapan. Beri kami anugerah untuk menjumpai musuh kami dengan cinta. Lilin ini akan menghangatkan semua orang yang menentang kebencian, penganiayaan dan membangun dialog“.
Kirche In Not memandang orang-orang Katolik di Papua sebagai orang-orang tertindas. Kematian katekis Rofinus Tigau membuktikan itu. Mereka tidak mendukung dana untuk gerakan Papua merdeka atau aksi balas dendam orang katolik Papua terhadap aparat. Mereka menyesalkan kejadian itu, berduka atas kematian Rufinus Tigau dan mendoakan keselamatan jiwanya.
Mereka tulus memanjatkan doa dan memasang lilin tanpa tendensi politik. Lilin bernyala adalah lambang Kristus yang bangkit. Lilin kebangkitan dan solidaritas kemanusiaan baru. Kirche In Not tidak membiayai projek kekacauan dan konflik bersenjata orang-orang katolik. Mereka mendukung dialog humanis dan rekonsiliasi damai. Mereka mendukung umat katolik melawan kebencian dan penganiayaan dengan spirit kekatolikan yaitu cinta dan solidaritas kemanusiaan.