Trasformasi Pendidikan di Era Digital : Model Kompetensi Guru Tantangan dan Peluang

Oleh: Yohanes Albinus Minggu,S.Pd, Kepsek SMAN 2 Ende
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Republik Indonesia (Kemendikbudristek) telah berhasil mengeluarkan berbagai inovasi kebijakan yang diharapkan dapat mengakselerasi transformasi pendidikan. Upaya itu tercermin dalam beberapa kebijakan prioritas, seperti Merdeka Belajar, Pendidikan Guru Penggerak, Program Sekolah Penggerak, Implementasi Kurikulum Merdeka, termasuk menyediakan Platform Merdeka Mengajar sebagai strategi peningkatan kompetensi guru yang mendorong transformasi pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Model Kompetensi Guru dan Jabatan Fungsional Guru .
Khusus untuk guru Pemetaan kompetensi dilakukan melalui proses mengidentifikasi, menilai, dan mengevaluasi tingkat penguasaan pengetahuan/keterampilan melalui instrumen pemetaan kompetensi dengan menggunakan rujukan model kompetensi Guru yang ditetapkan dalam Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 2626/B/HK.04.01/2023 tentang Model Kompetensi Guru, sebagai pemutakhiran atas Peraturan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan Nomor 6565/B/GT/2020 tentang Model Kompetensi Dalam Pengembangan Profesi Guru.
Hasil dari pemetaan kompetensi dapat menjadi acuan bagi Guru untuk merefleksikan, merencanakan,
dan melakukan pengembangan diri, pengembangan kompetensi berkelanjutan, serta pengembangan
karier.
Bagi pemangku kebijakan dan berbagai pihak yang berkepentingan, hasil pemetaan kompetensi
digunakan untuk menyusun strategi kebijakan dan atau memperluas akses dalam rangka pembinaan
dan peningkatan kompetensi guru. Penyusunan Model Kompetensi Guru ini menggunakan rujukan
Undang Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mendefinisikan ‘kompetensi’
sebagai “seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan
dikuasai oleh Guru atau Dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan” (Pasal 1 angka 10).
Selanjutnya, Pasal 8 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyatakan
kompetensi guru meliputi kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.
Memperhatikan ketentuan dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Nomor 38 Tahun 2017 tentang Standar Kompetensi ASN, standar kompetensi memuat pengelompokan kompetensi dan uraian indikator masing-masing kompetensi, dan telah diperbaharui dengan Permenpanrb Nomor 21 Tahun 2024 Tentang Jabatan Fungsional Guru yakni jabatan Guru Ahli
Pertama , Guru Ahli Muda , Guru Ahli Madya , dan Guru Ahli Utama .
Mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, kompetensi Guru terdiri atas:
1. Kompetensi pedagogik, yakni kemampuan mengelola pembelajaran yang berpusat pada peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran;
2. Kompetensi kepribadian, yakni kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif, dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik. Kemampuan kepribadian tersebut dilakukan melalui refleksi dalam menjalankan tanggung jawab sebagai guru sesuai kode etik profesi dan berorientasi pada peserta didik;
3. Kompetensi sosial, yakni kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan
efisien dengan peserta didik, sesama guru, orangtua/wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.
Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dilakukan dalam pembelajaran
dan pengembangan diri;
4. Kompetensi profesional, yakni Kemampuan penguasaan materi pelajaran secara luas dan mendalam. Kemampuan penguasaan materi tersebut untuk menetapkan tujuan pembelajaran dan pengorganisasian konten pengetahuan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik.
Model kompetensi Guru di Era Society 5.0:
Tantangan dunia pendidikan di abad 21 cukup kompleks dan beragam, di antaranya Perubahan paradigma pembelajaran Model pendidikan tradisional yang berpusat pada guru mulai digantikan dengan pendekatan yang lebih kolaboratif dan berpusat pada
siswa atau peserta didik .Tantangan bagi guru di abad 21 juga tidak hanya pada kemampuan akademik
siswa, tetapi juga pada Pendidikan intelektual, emosional, moral, dan akhlak yang kita kenal dengan
kecerdasan intelektuai (IQ), kecerdasan emosional (EQ) , dan kecerdasan spiritual(SQ).
Dunia pendidikan dipandang sebagai sektor strategis dalam meningkatkan kualitas Sumber Daya
Manusia (SDM) Indonesia agar siap menghadapi tantangan di masyarakat, termasuk tantangan
dalam era society 5.0. Istilah masa society 5.0 atau super smart society yang selanjutnya saya sebut era
masyarakat 5.0 sendiri pada awalnya diperkenalkan oleh negara Jepang pada tahun 2019, yang dibuat
sebagai antisipasi dari gejolak disrupsi akibat revolusi industri 4.0, yaitu fase revolusi teknologi yang
mengubah cara beraktifitas manusia dalam skala, ruang lingkup, kompleksitas, dan transformasi dari
pengalaman hidup sebelumnya. Hal ini bahkan menyebabkan keadaan penuh gejolak, ketidakpastian,
kompleks dan ambigu yang dialami manusia secara global (Guo, Ling Cheng, 2019). Dikhawatirkan
invansi tersebut dapat menggerus nilai-nilai karakter kemanusiaan apabila tidak diiringi dengan
adaptasi dan strategi yang tepat terhadap kemajuan teknologi. Oleh karena itu manusia harus memiliki
kemampuan untuk menghadapi masa depan yang berubah sangat cepat.
Dengan demikian masyarakat 5.0 merupakan masyarakat yang dapat mengatasi berbagai tantangan dan problem sosial dengan memanfaatkan integrasi ruang, baik fisik mau firtual (Skobelev & Borovik, 2017).
Konsep masyarakat 5.0 sendiri merupakan penyempurnaan dari berbagai konsep yang lahir
sebelumnya.
Mulai dari masyarakat 1.0, saat manusia pada masa pra-sejarah yang masih nomaden memasuki masa sejarah dengan mengenal tulisan.
Lalu masyarakat 2.0 yang merupakan era di mana manusia telah tinggal menetap, mengenal teknologi pertanian, dan mulai bercocok
tanam. Masyarakat 3.0 dikenal dengan masa revolusi industri abad ke-18 M., yakni saat manusia telah
mampu memanfaatkan mesin uap untuk beraktivitas menggantikan tenaga manusia dan hewan, serta
tahun 2011 era masyarakat 4.0 di mana manusia telah mengenal konsep big data yang dikumpulkan
oleh Internet on Things (Hayashi, 2017), dan diubah oleh Artificial Intelligence (Ozdemir, 2018)untuk
dapat meningkatkan kualitas hidup manusia.
Kini, konsep masyarakat 5.0 hadir dengan memperkenalkan konsep bahwa semua teknologi dari
masyarakat 4.0 adalah bagian dari hidup manusia itu sendiri, artinya kecanggihan teknologi tidak
hanya berguna untuk mendapatkan informasi dan menganalisis data, namun untuk menjalani
kehidupan. Dengan demikian akan tercipta keseimbangan antara peran masyarakat dan pemanfaatan teknologi (Faruqi, 2019).
Dunia Pendidikan di era Masyarakat 5.0
Dalam dunia Pendidikan perubahan yang dibuat bukan hanya metode mengajar, namun yang
terpenting adalah perubahan dalam perspektif konsep pendidikan itu sendiri. Trend di era ini lebih
berfokus pada spesialisasi tertentu, maka kurikulum pendidikan Indonesia tentunya harus diarahkan
pada upaya peningkatan keterampilan digital dan sikap individu abad ke-21 (Risdianto, 2019).
Oleh karena itu, kurikulum saat ini dan masa depan harus mengembangkan soft skill dan transversal
skill, serta keterampilan tidak terlihat yang berguna dalam banyak situasi kerja seperti, keterampilan
interpersonal, keterampilan hidup bersama, kemampuan menjadi warga negara yang berpikiran global, serta literasi media dan informasi, yang tidak dapat digantikan dengan teknologi secanggih apapun
(Nastiti & Agni RNA, 2020).
Karena itu era masyarakat 5.0 adalah era kolaborasi antara manusia sebagai pusatnya (human–
centered) dan teknologi sebagai dasarnya (technology based). Untuk menyiapkannya, ada dua hal yang
harus dilakukan yakni adaptasi dan meng-upgrade kompetensi. Adaptasi yang merupakan proses
penyesuaian diri, tentunya berjalan seiring dengan kompetensi yang dimiliki. Hal ini sangat penting
karena kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang berkaitan dengan efektivitas
kinerjanya. Karena itu selain kompeten, seorang pendidik harus lebih inovatif dan dinamis dalam
mengajar di kelas (Alimudin, 2019).
Jadi, selain menguasai komponen tertentu sesuai dengan persyaratan yang dituntut, pendidik perlu
menguasai keterampilan utama abad ke-21. Keterampilan yang popular disebut 4C tersebut
yakni, creativity and innovation skills (kreativitas), critical thinking (berpikir kritis), communication
skills(berkomunikasi), dan collaboration skills atau berkolaborasi (Risdianto, 2019).
Dalam era digital ini, arus informasi dapat diperoleh dari manapun, pendidik yang memiliki kemampuan berpikir kritis diharapkan akan mampu memilih sumber dan informasi yang relevan, menemukan sumber yang berkualitas, membedakan kebenaran dari suatu
kebohongan atau hoax dari media sosial atau lainnya, dan mampu menemukan fakta dari suatu opini,
akan memiliki modal dalam mengambil keputusan yang bijak sepanjang hidupnya kelak.
Pilar Spiritualitas untuk Menyiapkan Pendidik Profesional dalam Era Masyarakat 5.0
Di era digital ini, pilar spiritualitas dalam kehidupan menjadi semakin penting, terutama bagi para guru.
Menemukan keseimbangan antara teknologi modern dan aspek spiritual menjadi tantangan tersendiri
bagi para pendidik dalam menginspirasi dan membimbing generasi muda. Guru sebagai teladan
memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anak didik.
Dalam era dimana teknologi merajai hampir setiap aspek kehidupan, guru perlu mempertimbangkan
bagaimana mereka dapat menyelaraskan penggunaan teknologi dengan nilai-nilai spiritual.
Spiritualitas guru bukanlah sekadar menjalankan tugas, tetapi juga menjadi contoh yang inspiratif bagi
siswa.
Dalam konteks ini, guru yang memiliki kepekaan spiritual mampu menghadirkan kebijaksanaan dan
ketenangan dalam mengelola lingkungan belajar yang dipenuhi teknologi. Mereka mampu
mengajarkan tidak hanya tentang materi pelajaran, tetapi juga mengenai kehadiran diri, kesadaran,
dan empati.
Kemampuan untuk menyampaikan pelajaran dengan penuh kehadiran dan keberadaan dalam momen
tersebut menjadi esensi spiritualitas guru. Ketika guru memahami nilai-nilai spiritual, mereka cenderung lebih mampu membimbing siswa dalam menghadapi tantangan emosional dan sosial yang dihadapi di dunia digital.
Sementara teknologi memungkinkan akses terhadap berbagai informasi, guru yang memiliki dimensi
spiritual mampu membimbing siswa dalam menyaring informasi yang diterima, membedakan mana
yang bermanfaat dan sejalan dengan nilai-nilai moral, serta mana yang tidak. Penting bagi guru di era
digital untuk mempertimbangkan cara mereka menggunakan teknologi sebagai alat untuk mendukung
pembelajaran yang lebih dalam dan bermakna, bukan sebagai pengganti interaksi manusia.
“Teknologi hanyalah alat. Dalam hal membuat anak-anak bekerja bersama dan memotivasi mereka,
guru adalah yang paling penting.” (Bill Gates)
Guru yang memiliki landasan spiritual mampu memanfaatkan teknologi sebagai sarana untuk
menyampaikan nilai-nilai, menginspirasi, dan mendukung pertumbuhan siswa secara holistik.
Akhirnya, spiritualitas guru di era digital menjadi kunci utama dalam membentuk pemikiran, nilai, dan
karakter anak didik. Guru yang memadukan kepekaan spiritual dengan kecanggihan teknologi memiliki
potensi besar untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendalam, memotivasi, dan mempersiapkan siswa untuk menghadapi tantangan di masa depan secara berkelanjutan.
Paparan singkat tadi dapat saya simpulkan sebagai berikut:
Pertama, Model Kompetensi Guru sesuai Perdirjen GTK Nomor 2626/B/HK.04.01/2023 menjadi acuan
bagi Guru untuk merefleksikan, merencanakan, dan melakukan pengembangan diri, pengembangan
kompetensi berkelanjutan, serta pengembangan karier.
Kedua , dalam era yang harus diwaspadai saat ini yakni era masyarakat 5.0. tentunya institusi
pendidikan harus menyiapkan lulusan yang unggul, yakni memiliki ketrampilan 4C, yakni creativity and
innovation skills (kreativitas), critical thinking (berpikir kritis), communication skills(berkomunikasi),
dan collaboration skills atau berkolaborasi.
Ketiga , implementasi pilar pendidikan sangat penting dalam menghadapi era masyarakat 5.0., agar guru tidak hanya unggul dalam bidang iptek namun juga menjadi pribadi yang baik, kreatif, mampu mengajar, mendidik, menginspirasi, dan menjadi suri teladan bagi peserta didiknya.
Demikianlah yang dapat saya sampaikan, semoga alumni PPG Dalam Jabatan Uniflor Ende dapat
meresponnya dan mampu menjadi pendidik unggul dan berkarakter di era masyarakat 5.0.
“The mediocre teacher tells. The good teacher explains. The superior teacher demonstrates. The
great teacher inspires.” “Guru yang biasa memberitahu. Guru yang baik menjelaskan. Guru yang
superior mencontohkan. Guru yang luar biasa menginspirasi” – William Arthur Ward.
“Orang Hebat bisa melahirkan beberapa karya bermutu tapi Guru Bermutu bisa melahirkan ribuan orang Hebat.
Catatan, Tulisan Ini Merupakan Orasi Ilmiah Yang Dibawakan Pada Pengukuhan PPG Dalam Jabatan Program Pasca Sarjana Universitas Flores tahun 2025 Auditorium H.J.Gadi Djou, Sabtu , 22 Februari 2025