Pengadaan Tenda, Sound System dan Peralatan Dapur, Pemberdayaan Ekonomi Atau Jualan Politik DPRD Sikka ?
Luar biasa “jualan” politik anggota dewan menjelang Pemilu 2024 yang lalu.
Pertanyaan mendasar apa sesungguhnya Pokir ini. Berdasarkan Pasal 178 Permendagri Nomor 86 Tahun 2017, Pokir merupakan kajian permasalahan pembangunan daerah yang diperoleh dari DPRD berdasarkan risalah rapat dengar pendapat dan atau rapat hasil penyerapan aspirasi melalui reses.
Reses memang waktu yang diberikan kepada anggota dewan untuk turun ke konstituennya (warga) komunukasi dua arah persoalan apa saja yang dimau oleh warga agar dibantu oleh wakilnya mereka di dewan.
Dewan menginventarisasi kebutuhan warga diberikan kepada eksekutif (pemerintah) agar dianggarkan. Artinya ada input dari dewan, proses oleh pemerintah dengan kajian atas dasar data warga serta kebutuhan dibuatlah anggaran. Setelah hasil (output) dari Pokir tersebut yang berimpact politif bagi warga.
Pokir DPRD Sikka Rp 2,3 Miliar lebih masuk di Disnakertrans Sikka terdiri tenda jadi, kursi, sound system dan peralatan dapur.
Dalam Dokumen Sebaran Proyek dan Kegiatan Tahun Anggaran 2024, merencanakan pengadaan tenda jadi dan kursi dengan total anggaran Rp 1.330.500.000.
Ada juga pengadaan sound system dan perkakas dapur dengan total anggaran Rp 1.039.320.000. Jika diakumulasikan, item kegiatan pengadaan tersebut menghabiskan anggaran Pemkab Sikka sebesar Rp 2.369.820.000.
Plt.Kepala Bapelitbang Sikka, Marianus A.Anti memastikan kegiatan tersebut masuk dalam usulan pokok pikiran (pokir) Anggota DPRD Sikka dalam bentuk program pelatihan kerja dan produktivitas kerja di Dinas Nakertrans Kabupaten Sikka.
Ini bukan soal memastikan program tersebut ada atau tidak, tetapi lebih substansial apakah program itu akan memberdayakan, meningkatkan skill (ketrampilan) warga agar mandiri mengelola fasilitas tersrbut?
Ada dua item pokir yang digelontorkan senilai Rp 2,3 miliar lebih tersebut program tersebut jelas tidak berimpact (berpengaruh) pada peningkatan ekonomi dan skill warga.
Lalu bagaimana dengan biaya perawatan dari peralatan tersebut. Karena dilihat dari program bantuan rasanya untuk habis dipakai. Padahal tujuan sejatinya dari Pokir adalah pemberdayaan ekonomi warga agar bisa kreatif mandiri dewasa dalam mengelola aset yang adalah modalnya? Perlu dipertanyakan.
Jujur saja terlihat program ini luar biasa adanya tanggapan riil dewan dan pemerintah (Disnakertrans) menjawab kebutuhan warga.
Tetapi dalam kaitan program pelatihan terhadap warga yang belum jelas. Karena contoh tenda kursi peralatan dapur untuk pesta tidak ada kaitan dengan dengan program pelatihan tetapi terlihat untuk persewaan saja dan sudah pasti akan habis terpakai.
Pertanyaannya bagaimana managemen pengelolaan uang sewa dan biaya perawatannya. Siapa serta bentuk pertanggungjawabannya bagaimana? Jujur saja Pokir ini terkesan parsial saja pokoknya ada dan diberikan tetapi apakah program riil ini menjadi daya ungkit warga untuk trampil dan memberikan dampak ekonomi berkelanjutan nonsense(tidak akan terwujud).
Jika demikian kami mengibaratkan pokir ini “bantuan politik langsung tunai” habis terpakai tanpa bekas dan sudah pasti tidak mendidik warga. Padahal dari katamata bisnis (perusahaan privat) bantuan ini adalah aset (modal) yang bisa menjadi daya ungkit ekonomi warga desa unk lebih mandiri trampil berkembang dalam mengelola ekonominya. Ini yang terkadang tidak tertanam dalam perilaku kaum birokrat bahwa mengelola pemerintahan adalah identik mengelola perusahaan).
Apalagi dengan konsep otonomi daerah harusnya pola pikir dan kerja kaum birokrat sudah beda dengan dengan sebelum konsep otonomi. Nyatanya kaum birokrat pola pikir dan kerja masih dengan konsep kacamata kuda.
Kolaborasi dan kreativitas belum nampak sama sekali alias harap gampang nunggu belas kasih dana bantuan pusat.
Dan, jujur saja masih adanya kebiasaan dari oknum birokrat dan dewan tilep dari anggaran pemerintah sdh jadi rahasia publik.
Memang benar apa yang dijelaskan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Sikka, Valerianus , Rabu (13/3/2024) siang mengatakan, bantuan yang ada semua bersumber dari dana pokir masing-masing Anggota DPRD Sikka.
Dan memang harus demikian jika tidak dewan dan Disnakertrans harus berurusan dengan hukum. Sejatinya bukan itu tetapi yang mau jadi prioritas pokir ini adalah Disnakertrans sebagai instansi yang kehadirannya harus memberikan nilai edukasi dan terutama skill tenaga usia kerja agar tidak terkesan hanya penyalur dana Rp 2,3 miliar.
Akhirnya wajar jika publik Nian Tana Sikka menduga pokir jualan politik yang sangat manjur dari oknum oknum dewan demi meraup suara warga pada pemilu kemarin. Walauallam!