Presidensiil Rasa “Parlementer”, Rakyat Dapat Apa ?
Oleh Marianus Gaharpung, Dosen Fakultas Hukum, Ubaya, Surabaya
Warga sipil tanah air akhir- akhir ini sedih bingung kecewa bahkan marah melihat “drama” politik tanah air dengan pemeran utama oknum penguasa dan para elit politik yang sudah hilang nalar serta etika hati nuraninya.
Mereka mempertontonkan moralitas dan etika politik sangat buruk mengatasnamakan kesejahteraan rakyat.
Rakus akan kekuasaan membuat oknum penguasa dan para elit berani bahkan tanpa malu lagi melakukan apa saja walaupun mereka tahu tindakan itu menabrak konstitusi, undang undang maupun AD/ART yang menjadi kesepakatan bersama dalam organisasi partai politik.
Pernyataan dan perilaku politik oknum penguasa dan para elik politik sudah hilang etika serta moralitasnya untuk satu tujuan kenikmatan kekuasaan? Apakah semua itu, untuk kesejahteraan rakyat, nonsense melainkan demi “melegasikan” dinasti kekuasaan, oligakhi ekonomi di antara oknum penguasa dan para elit politik. Itulah realita terang benderang di depan mata publik tanah air.
Statemen atau janji- janji oknum pejabat serta para elit politik sudah sulit dipercaya masyarakat. Sebab kebenaran dan kebohongan sangat ” berhimpit”. Terlihat antara omongan dan tindakan sangat jauh berbeda alias “mencla mencle”.
Jika warga publik sudah mulai kurang percaya kepada regim yang berkuasa dan elit politik itu artinya negara dan pemerintahan hari ini sedang tidak baik- baik amat.
Pilpres dan Pemilu tinggal tiga bulan lagi yakni Pebruari 2024. Waktu yang tersisa ini haruslah dirawat dengan baik agar pesta rakyat lima tahunan berjalan damai, sejuk, adil, demi mendapatkan presiden wakil presiden serta wakil rakyat yang legitimate pada pemerintahan 2024.
Indonesia sudah mengalami perkembangan yang cukup baik walaupun masih ada yang sulit terpecahkan yakni kemiskinan serta penegakan hukum korupsi membabi buta.
Oleh karena itu, warga yang mempunyai hak pilih di 2024, terutama generasi muda jatuhkan pilihan sesuai hati nurani berdasarkan pertimbangan dari berbagai hal.
Ini memilih calon pemimpin bangsa negara bukan memilih gubernur apalagi walikota. Setiap pasangan capres cawapres dan tim pemenang serta simpatisan tidak perlu saling serang, merendahkan karena siapapun pasangan capres cawapres yang keluar sebagai pemenang di pilpres 2024 tetap tidak memiliki “powerfull” dalam menjalankan roda pemerintahan.
Walaupun sistem ketatanegaraan menganut sistem pemerintah yang presidensil namun harus diingat para senator yang duduk di senayan yang datang dari partai- partai politik.
Itu artinya suka atau tidak “gaya” tata laksana pemerintahan yang presidensiil rasa “parlemerter”. itu realistis bukannya mengada- ada.
Ambil contoh jika Ganjar Mahfud menang Pilpres 2024, apakah akan mudah dan maunya sendiri menyusun komposisi kabinet para menteri? Realita tidak mudah pasti akan membutuhkan SDM dari parpol lainnya misalnya Gerindra, Nasdem, PAN apalagi parai Golkar yang selalu cari aman.
Artinya pada akhirnya siapapun pasangan capres cawapres yang menang tetap membutuhkan SDM dari partai partai untuk membangun kabinet yang solit yang sebelumnya saling berseberangan bahkan “tawuran” karena mengusung capres cawapres yang berbeda.
Dengan kata lain “benci tapi pada akhirnya rindu” demi kenimkatan kekuasaan. Rakyat dapat apa, “Nol Putul”. Jadi tidak perlulah warga bangsa saat ini berjuang membabi buta berdarah- darah bahkan mati membela capres dan cawapres tertentu.
Drama politik hari ini akan mencapai puncaknya pada Oktober 2024 saat pelantikan presiden wakil presiden terpilih.
Dan, presiden dan wakil presiden akan menyusun kabinet para menteri untuk “mengeksekusi visi misi presiden wakil presiden. Itu artinya agar visi misinya berjalan mulus, maka SDM kabinetnya harus diisi dari partai-partai politik jika tidak maka program presiden dan wakil presiden terpilih sebaik apapun demi rakyat tidak berjalan mulus akan terus “diganggu” di Senayan.
Ini realitas politik karena PDIP bukan partai single majority akibat dari multi partai, akhirnya tetap berkoalisi.