Internasional

Mengenal Lebih Jauh Musik Alphorn Dari Pegunungan Alpen,Swiss

Foto/Alat Musik Alphorn dari Alpen, Swiss

Oleh,  Stefanus Wolo Itu

Imam Projo KAE, Misionaris Di Keuskupan Basel Swiss

Hari minggu 17 Oktober lalu saya mendapat undangan dari Turnverein Fricktal. Turnverein Fricktal adalah sebuah perkumpulan olah raga senam untuk dataran Fricktal. Dataran Fricktal terbentang di kawasan selatan sungai Rhein. Keenam paroki pelayanan saya: Eiken, Stein, Mumpf, Wallbach, Schupfart berada di kawasan ini.

Mereka mengundang saya untuk memimpin upacara peringatan arwah para anggotanya. Acara ini diawali dengan sapaan Presiden Turnverein. Selanjutnya saya membawakan kata pembukaan, doa pembukaan, doa-doa umat, doa dan berkat penutup.

Setelah doa pembukaan, seorang petugas membacakan nama anggota yang meninggal sepanjang tahun. Selain nama lengkap, ketua juga membaca secara lengkap tanggal, tahun lahir, tanggal kematian dan usia hidup. Setiap mereka dikenang dengan satu lilin bernyala.

Alphorn Dari Alpen

Perayaan singkat ini berlangsung meriah. Urs Bachofner dan Yannik Wey  membawakan tiga lagu dengan tiupan Alphorn. Suara Alphorn membahana, memecah kesunyian pemakaman umum Eiken.

Apa itu alat musik Alphorn? Alphorn adalah salah satu alat musik tiup tradisional penduduk pegunungan Alpen. Lebih khusus, warga Alpen yang mendiami wilayah Perancis, Swiss, Austria dan Jerman.

Alphorn adalah trompet unik, tanpa lubang jari dan berukuran 3-4 meter. Terompet unik ini terbuat dari kayu cemara. Cemara adalah pohon yang paling banyak bertumbuh di pegunungan Alpen. Habitat cemara adalah wilayah dengan ketinggian 1100 meter dari permukaan laut.

Alphorn berbentuk kerucut. Ujungnya berbentuk seperti tanduk sapi. Corongnya berbentuk seperti cangkir. Horn bahasa Jerman artinya tanduk. Alphorn bisa diartikan sebagai alat musik berbentuk tanduk dari kawasan pegunungan Alpen.

Beberapa ilmuwan Swiss mencatat bahwa Alphorn hadir di Swiss sejak ratusan tahun lalu. Seorang biarawan katolik ordo Cistercian dari Sankt Urban menulis bahwa tahun 1527 telah hadir pemain Alphorn dari Valais, Swiss selatan. Pemain Alphorn ini berjalan mengelilingi Swiss.

Pada tahun 1555, ilmuwan dan seniman Swiss, Conrad Gesner(26 Maret 1516-13 Desember 1565) membuat catatan detail tentang Alphorn. Sejarahwan lainnya, Sigismund Furrer(1788-1865) mengisahkan kedahsyatan tiupan Alphorn seorang gembala sapi dari Baltschiedertalt. Suara Alphorn terdengar hingga Visp. Padahal jarak kedua kampung di Swiss selatan itu 12, 4 kilometer.

Para ilmuwan mencatat bahwa Alphorn digunakan di beberapa wilayah Swiss sebagai alat peringatan, sarana panggilan dan hiburan. Rata-rata warga pegunungan Alpen adalah peternak sapi. Alphorn menjadi sarana komunikasi sesama gembala sapi.

Alphorn juga menghilangkan kejenuhan. Gembala sapi adalah pekerjaan menjenuhkan. Bapak saya berceritera bahwa pekerjaan yang paling menjenuhkan adalah menggembalakan sapi dan menjaga burung pipit di sawah. Perjalanan waktu dari matahari terbit hingga terbenam terasa begitu lama.  Para gembala sapi Alpen merasakan itu. Mereka meniup Alphorn untuk mengobati kejenuhan.

Mereka juga meniup Alphorn untuk memanggil sapi-sapi yang berkeliaran di padang rumput agar segera kembali ke kandang.  Penduduk Alpen memelihara sapi untuk kebutuhan dagingnya, terutama daging sapi muda. Mereka juga mengambil susunya dan keju. Alunan musik Alphorn menghibur pemerah susu sapi dan menenangkan sapi saat diperah susunya.

Ketika belum ada lonceng gereja, Alphorn juga menggantikan peran lonceng. Selanjutnya Alphorn mengiringi doa dan perayaan liturgi di gereja. Salah satu grup Alphorn pernah memeriahkan perayaan ekaristi di gereja paroki saya beberapa tahun lalu. Dalam perkembangan lanjutan, Alphorn tampil pada pelbagai festival musiman.

Bunyi Alphorn masih asing bagi kita di Indonesia. Saya sendiri tidak sempat merekam bunyi Alphorn itu. Tapi register bunyi Alphorn bisa kita temukan pada orgel-orgel moderen yang ada di gereja, kapela, sekolah atau grup-grup band elektronik.

Lagu Cinta Untuk Mereka Yang Berbaring di Padang Rumput Terindah

Sebagai lagu penutup kami menyanyikan „Im Schönsten Wiesengrunde atau Di Padang Rumput Terindah. Lyrik lagu ini pertama kali ditulis oleh advokat dan aktuaris Württemberg Jerman Selatan, Wilhelm Ganzhorn(1818-1880) pada tahun 1851. Lagu ini terdiri dari 13 ayat. Ja, hampir sama panjang dengan lagu « ucapan selamat » untuk pejabat pemerintahan atau pemuka agama di  Ende Lio Flores. Isinya seputar pujian, terima kasih dan permintaan baru!

Pada sebelas ayat pertama, penulis mengisahkan keindahan kampung halamannya. Dia melukiskan tanah airnya sebagai „lembah tenang“. Sedangkan dua bait terakhir bernada melankolis. Dia sedih karena suatu saat harus meninggalkan lembah tenang ini. Dia mesti pergi ke dasar lembah. Dasar lembah itu adalah  pekuburan. Tapi dasar lembah itu istimewa karena ditumbuhi  rumput-rumput terindah.

Lagu ini kemudian dipersingkat oleh Johann Christian Weeber dan Friedrich Krauss. Mereka hanya mengambil ayat pertama, keduabelas dan ketigabelas dan terkenal hingga hari ini. Saya menterjemahkan secara bebas ketiga ayat itu.

Pertama, di padang rumput terindah adalah kediamanku. Beberapa jam di waktu pagi saya pergi ke lembah. Engkau, lembah sunyiku, saya menyapa engkau seribu kali.

Keduabelas, saya harus berpisah dari lembah, berpisah dengan semua kesenangan dan sukacita. Perpisahan itu akan menjadi penderitaan musim gugurku, perjalanan terakhir saya.

Ketigabelas, saya meninggal, saya ingin dikuburkan di dasar lembah. Engkau lembah sunyiku, saya menyapa engkau seribu kali. Bernyanyilah untukku pada jam terakhir menjelang senja.

Setelah perang dunia kedua, lagu bernada kerinduan ini sangat populer di kalangan emigran dan orang Jerman di luar negeri. Juga sangat disukai para pengungsi dan kaum terlantar sebagai ungkapan kerinduan akan tanah air yang hilang.

Dewasa ini lagu „Im Schönsten Wiesengrunde“ sering dinyanyikan pada upacara pemakaman dan peringatan kematian. Lagu ini adalah „Ungkapan Cinta Untuk Mereka Yang Berbaring Di Padang Rumput Terindah“. Orang Swiss selalu menata pekuburan sebagai salah satu taman terindah.

Suara Alphorn yang membahana mengingatkan kita, bahwa kita akan bergabung „Di Padang Rumput Terindah“ itu. Harapan bait terakhir: „Bernyanyilah untukku pada saat terakhir menjelang senja“ pasti terjawab. Saat kita menuju padang rumput terindah atau pekuburan, selalu ada yang bernyanyi untuk kita.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan