Opini

Membongkar Narasi Geothermal Flores: Berkah Energi Atau Pintu Bencana ?

Oleh: Lorens Sueng, Mahasiswa  Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Widyasasana, Malang

Panorama Flores dan Fenomena Pengembangan Geothermal

Pengembangan energi geothermal di Flores menjadi topik penting dalam wacana energi berkelanjutan di Indonesia.

Pulau Flores yang terletak di kawasan cincin api Pasifik memiliki potensi panas bumi yang melimpah, menjadikannya lokasi ideal untuk pengembangan energi terbarukan.

  Namun, di balik potensinya yang besar, pengembangan geothermal di Flores juga menyimpan berbagai tantangan kompleks, terutama terkait dampak lingkungan dan sosial.

Konteks inilah yang melatarbelakangi tulisan ini, yang berupaya mengkaji secara komprehensif dua aspek yang saling bertentangan yakni potensi energi dan ancaman lingkungan melalui perspektif filosofis Karl Popper.  

Pemilihan falsifikasi Karl Popper sebagai lensa analisis didasarkan pada relevansinya dalam menguji klaim-klaim ilmiah tentang proyek geothermal.

Prinsip falsifikasi Popper menekankan bahwa suatu teori atau klaim hanya dapat dianggap ilmiah jika terbuka untuk dibantah melalui bukti empiris. 

Dalam konteks geothermal Flores, pendekatan ini menjadi penting untuk menguji berbagai klaim tentang manfaat energi bersih sekaligus potensi risikonya terhadap lingkungan.

Perspektif masyarakat terbuka (open society) dari Popper juga memberikan landasan teoretis yang kuat untuk menganalisis aspek kebijakan pengembangan geothermal.

Konsep ini menekankan pentingnya transparansi, partisipasi publik, dan kesediaan untuk merevisi kebijakan berdasarkan bukti baru. Di Flores, di mana masyarakat lokal memiliki kedekatan kultural dengan tanah dan lingkungannya, prinsip-prinsip ini menjadi sangat relevan.

Tulisan ini berangkat dari kebutuhan untuk memastikan bahwa pengembangan energi tidak mengabaikan hak-hak masyarakat lokal dan keberlanjutan ekologis.

Dinamika pembangunan di Indonesia yang juga seringkali dihadapkan pada dilema antara pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan juga menjadi pertimbangan dalam tulisan ini.

Kasus geothermal Flores menjadi contoh nyata bagaimana pembangunan energi terbarukan pun dapat menimbulkan masalah lingkungan jika tidak dikelola dengan tepat.

  Melalui pendekatan falsifikasi Popper, tulisan ini berupaya memberikan kerangka analisis yang kritis namun konstruktif, yang tidak hanya mengungkap potensi tetapi juga secara jujur mengakui dan mengantisipasi berbagai risiko yang mungkin timbul.

Untuk memahami lebih dalam pengembangan geothermal di Flores sebagai pontensi energi dan ancaman lingkungan maka penulis merumuskan beberapa pertanyaan sebagai bahan refleksi bersama yakni apa mekanisme yang memungkinkan partisipasi aktif masyarakat dalam pemantauan proyek geotermal? apakah efektif regulasi saat ini menjamin penerapan teknologi ramah lingkungan oleh perusahaan? apa Indikator kuantitatif yang harus menjadi acuan evaluasi dampak lingkungan geothermal ?.

Berbagai kajian atu penelitian terdahulu tentang geothermal di Flores umumnya terfokus pada aspek teknis atau dampak lingkungan secara terpisah. Sebagian besar studi mengeksplorasi potensi cadangan geothermal, teknologi eksplorasi, atau analisis ekonomi tanpa menghubungkannya secara mendalam dengan konteks sosial dan lingkungan. 

Beberapa penelitian lain mengkaji dampak lingkungan tetapi cenderung deskriptif tanpa kerangka teoretis yang kuat untuk menguji klaim-klaim yang diajukan.

Ada juga studi yang membahas resistensi masyarakat namun kurang menyentuh aspek epistemologis dalam mengevaluasi kebenaran klaim ilmiah maupun persepsi masyarakat. Kekosongan inilah yang coba diisi oleh penelitian ini dengan menerapkan perspektif falsifikasi Karl Popper, yang menekankan pada pengujian hipotesis melalui upaya pembuktian salah.

 Oleh karena itu, prinsip masyarakat terbuka menuntut adanya mekanisme partisipasi yang inklusif, di mana suara masyarakat lokal bukan sekadar formalitas, tetapi benar-benar mempengaruhi proses pengambilan keputusan.

Di tingkat kebijakan, kerangka regulasi pengembangan geothermal perlu dibangun dengan mempertimbangkan karakteristik spesifik wilayah Flores.

Peraturan harus mampu menyeimbangkan insentif investasi dengan perlindungan lingkungan yang ketat. Perbedaan dalam penelitian ini yakni berfokus pada konsep penerapan falsifikasi Karl Popper untuk menguji klaim ilmiah dan sosial secara kritis, menggabungkan analisis teknis, lingkungan, dan sosial dalam satu pendekatan yang lebih objektif dan terpadu. 

           Flores sebagai bagian dari Nusa Tenggara Timur, memiliki potensi geothermal yang belum sepenuhnya tergarap. Letaknya di kawasan Cincin Api Pasifik memberikan cadangan panas bumi melimpah, cocok untuk pembangkit listrik ramah lingkungan. Pemanfaatan energi ini dapat menjadi solusi ketahanan energi sekaligus mengurangi emisi karbon. Namun, berbagai faktor seperti investasi tinggi, risiko eksplorasi, serta dampak lingkungan harus dikelola secara hati-hati agar pemanfaatan geothermal berjalan optimal.

Potensi geothermal Flores tersebar di beberapa wilayah seperti Ulumbu, Mataloko, dan Sokoria. PLTP Ulumbu sudah beroperasi dengan kapasitas 10 MW, memasok listrik bagi wilayah Manggarai.  Sementara itu, PLTP Mataloko menghasilkan 2,5 MW, membantu pasokan energi di Kabupaten Ngada.

Meski kapasitasnya masih kecil, keberadaan PLTP ini membuktikan kelayakan pengembangan lebih besar. Jika seluruh potensi geothermal Flores dimanfaatkan, pulau ini mampu memasok listrik hingga 300 MW, jauh melampaui kebutuhan lokal sehingga kelebihan energi bisa didistribusikan ke daerah lain.

Dari segi ekonomi, pengembangan geothermal membawa dampak positif bagi masyarakat Flores.  Proyek pembangunan PLTP menyerap tenaga kerja lokal, baik dalam tahap konstruksi maupun operasional.

Munculnya industri pendukung seperti jasa transportasi, pemeliharaan peralatan, dan sektor hospitality turut mendorong perekonomian. Selain itu, kehadiran pembangkit listrik memperbaiki kualitas hidup masyarakat dengan meningkatkan elektrifikasi desa-desa terisolir. Akses listrik yang stabil mendukung perkembangan UMKM, pendidikan, dan layanan kesehatan.

              Namun, tantangan utama pengembangan geothermal adalah biaya investasi awal yang besar. Eksplorasi memerlukan survei seismik, pengeboran uji, dan analisis geokimia, yang memakan dana signifikan. Kegagalan dalam fase eksplorasi berisiko menimbulkan kerugian finansial besar.  Untuk menarik investor, pemerintah perlu memberikan insentif seperti tax holiday, pembiayaan bersama, atau skema public-private partnership.

Peran BUMN seperti Pertamina Geothermal Energy (PGE) juga penting dalam memimpin proyek-proyek awal sebelum swasta berani masuk. Aspek teknis lain yang perlu diperhatikan adalah karakteristik geologis Flores yang kompleks.

Beberapa wilayah memiliki reservoir panas bumi dengan fluida bersuhu tinggi tetapi juga mengandung material korosif.  Hal ini memerlukan teknologi khusus dalam pembangunan pipa dan turbin agar tidak cepat rusak. Kolaborasi dengan ahli geothermal internasional serta pemanfaatan material tahan korosi dapat menjadi solusi untuk memperpanjang usia infrastruktur.

Dampak lingkungan juga tidak boleh diabaikan. Meskipun geothermal termasuk energi bersih, eksploitasi berlebihan berpotensi menyebabkan penurunan tanah atau kontaminasi air tanah jika injeksi uap tidak dilakukan dengan benar. Emisi gas seperti hidrogen sulfida (H₂S) juga harus dimonitor ketat untuk mencegah polusi udara.  Penerapan teknologi binary cycle dapat mengurangi risiko ini karena sistem ini tidak melepaskan fluida langsung ke lingkungan.

              Peran masyarakat lokal sangat krusial dalam keberhasilan proyek geothermal. Sosialisasi manfaat energi bersih perlu digencarkan agar masyarakat tidak menolak pembangunan PLTP. Pelibatan warga dalam pengawasan lingkungan dan program CSR seperti beasiswa atau pelatihan kerja dapat meningkatkan penerimaan proyek. 

Selain itu, pemanfaatan sebagian pendapatan PLTP untuk pembangunan desa akan menciptakan rasa kepemilikan bersama. Ke depan, pengembangan geothermal di Flores dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia Timur. Jika dikelola dengan baik, energi ini tidak hanya memenuhi kebutuhan listrik tetapi juga mendorong industrialisasi berbasis energi bersih. Kawasan seperti Sokoria dan Wae Sano memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi hub energi terbarukan, menarik investasi industri hijau seperti pabrik baterai atau pengolahan hasil pertanian.  

Pemerintah perlu mempercepat penyusunan regulasi yang mendukung pengembangan geothermal, termasuk penyederhanaan perizinan dan alokasi dana khusus untuk riset teknologi. Kerja sama dengan perguruan tinggi seperti Universitas Flores dan institusi penelitian seperti LIPI dapat memperkuat inovasi dalam eksplorasi dan pemanfaatan panas bumi.

Dengan pendekatan terintegrasi, geothermal Flores tidak hanya menjadi sumber energi tetapi juga penggerak pembangunan berkelanjutan. Keseimbangan antara eksploitasi sumber daya, perlindungan lingkungan, dan pemberdayaan masyarakat akan menentukan kesuksesan jangka panjang proyek ini. Jika semua pihak bersinergi, Flores berpotensi menjadi contoh nyata transisi energi di Indonesia.

Falsifikasi Karl Popper sebagai Kerangka Kritis untuk Menguji Keberlanjutan Geothermal Flores

           Karl Popper, seorang filosof sains abad ke-20, mengemukakan konsep falsifikasi sebagai kritik terhadap metode verifikasi dalam ilmu pengetahuan. Menurut Popper, suatu teori dapat dianggap ilmiah jika ia dapat difalsifikasi, artinya ada kemungkinan untuk dibuktikan salah melalui pengamatan atau eksperimen.  Prinsip ini menjadi landasan penting dalam mengevaluasi pengembangan energi geothermal di Flores, yang menawarkan potensi besar sebagai sumber energi terbarukan namun juga membawa ancaman terhadap lingkungan. Popper akan menekankan bahwa klaim tentang manfaat geothermal harus terbuka untuk pengujian dan kritik, bukan diterima begitu saja sebagai kebenaran mutlak.

Pengembangan geothermal di Flores sering dipromosikan sebagai solusi untuk ketahanan energi dan pengurangan emisi karbon, tetapi klaim ini harus diuji secara ketat.  Jika ternyata proyek geothermal justru menyebabkan kerusakan lingkungan yang signifikan atau tidak efisien secara energi, maka klaim tersebut harus ditolak atau direvisi. Popper menolak pendekatan dogmatis dalam sains dan kebijakan, yang cenderung mengabaikan bukti yang bertentangan dengan narasi dominan.

Dalam konteks geothermal Flores, pendekatan falsifikasi mengingatkan kita untuk terus mempertanyakan asumsi bahwa energi ini selalu ramah lingkungan atau berkelanjutan. Flores memiliki potensi geothermal yang besar karena letaknya di Ring of Fire, yang kaya dengan aktivitas vulkanik.

Sumber energi ini dianggap lebih stabil dibandingkan energi terbarukan lainnya seperti angin atau matahari, yang bergantung pada kondisi cuaca.  Namun, pengembangannya tidak lepas dari risiko lingkungan, seperti pelepasan gas beracun, penurunan permukaan tanah, dan kontaminasi air tanah. Popper akan memandang risiko ini sebagai tantangan yang harus dihadapi dengan metode ilmiah, bukan diabaikan demi kepentingan ekonomi atau politik semata.

Falsifikasi menuntut kita untuk tidak hanya mencari bukti yang mendukung keamanan geothermal tetapi juga secara aktif mencari bukti yang dapat menyangkalnya. Jika penelitian menemukan bahwa dampak negatifnya lebih besar dari perkiraan awal, maka kebijakan pengembangan geothermal harus dikaji ulang. 

Popper menentang sikap apologetik yang membela suatu teori atau kebijakan meskipun ada bukti yang bertentangan, karena hal itu menghambat kemajuan pengetahuan dan kebijakan yang lebih baik.

            Di sisi lain, pengembangan geothermal di Flores juga menghadapi tantangan sosial dan budaya. Masyarakat lokal mungkin memiliki kekhawatiran terhadap proyek ini, baik karena alasan lingkungan maupun penghormatan terhadap tanah yang dianggap “sakral”. Popper akan berargumen bahwa klaim ilmiah tentang keamanan geothermal harus bisa diuji oleh masyarakat, bukan hanya oleh para ahli, pemerintah atau para pemilik modal. 

Proses demokratis dalam pengambilan keputusan sejalan dengan semangat falsifikasi, di mana tidak ada otoritas yang kebal dari kritik. Jika masyarakat memberikan bukti atau pengalaman empiris yang bertentangan dengan klaim para ahli, maka hal itu harus dipertimbangkan secara serius.

Popper percaya bahwa kemajuan ilmiah dan sosial terjadi melalui proses trial and error, di mana gagasan yang salah secara bertahap dieliminasi melalui kritik dan pengujian.  Dalam konteks geothermal, ini berarti kebijakan harus fleksibel dan siap beradaptasi jika ditemukan dampak negatif yang tidak terantisipasi.

           Namun, penerapan prinsip falsifikasi dalam pengembangan geothermal tidak selalu mudah. Ada kepentingan ekonomi dan politik yang kuat di balik proyek-proyek energi ini, yang dapat menghambat proses kritik dan revisi.

Perusahaan energi mungkin enggan mengakui dampak negatif karena khawatir terhadap biaya tambahan atau penundaan proyek. Pemerintah juga mungkin terdorong untuk mengabaikan kritik masyarakat demi mencapai target energi terbarukan. 

Popper akan melihat ini sebagai contoh bagaimana dogmatisme dan kepentingan jangka pendek dapat merusak integritas ilmiah dan kebijakan publik. Untuk mengatasi ini, diperlukan transparansi dalam penelitian dan pengambilan keputusan, serta mekanisme yang memungkinkan partisipasi publik dalam menguji klaim-klaim tentang geothermal.

Tanpa itu, pengembangan geothermal berisiko menjadi contoh bagaimana sains dan kebijakan bisa terjebak dalam kesalahan yang tidak terkoreksi. Energi geothermal tetap menjadi pilihan menarik untuk transisi energi di Flores, tetapi pendekatan Popper mengingatkan kita bahwa tidak ada solusi yang sempurna.  Setiap kebijakan atau teknologi harus dilihat sebagai hipotesis yang perlu terus diuji, bukan sebagai kebenaran final.

Jika geothermal terbukti menimbulkan dampak yang tidak terduga, maka kita harus berani mengubah pendekatan atau mencari alternatif lain yakni kita harus menolaknya. Popper menekankan bahwa kemajuan datang dari kesediaan untuk mengakui kesalahan dan belajar darinya, bukan dari keyakinan buta pada suatu gagasan.

Dalam konteks Flores, ini berarti pengembangan geothermal harus didasarkan pada bukti yang terus diperbarui, bukan pada narasi yang sudah ditetapkan sejak awal.

Dengan demikian, prinsip falsifikasi tidak hanya relevan dalam sains murni tetapi juga dalam penerapan praktis seperti kebijakan energi dan perlindungan lingkungan, khususnya di Flores.

Nah sebagai pertannyaan refleksi untuk kita semua yakni, apakah pengembangan gheothermal perlu di kembangkan ataukah kita semua harus menolak dengan tegas ?

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan