Menakar Bandul Politik Dalam PILPRES

Oleh: Faustinus Vasco*
Pesta demokrasi yang berlangsung saat ini di negri ini (Pemilu) sebagai penghantar menuju gerbang suksesi pemimpin negri alias pergantian presiden dan wakil presiden.
KPU telah mengesahkan 3 pasangan calon presiden dan calon wakil presiden, terlepas dari pro-kontra paradigma. Namun sejatinya itulah dinamika di kancah perpolitikan, penuh seni, trik dan intrik. Busuk dan sejuk bagai sekeping mata uang.
Pepatah Cinapun mengatakan bahwa apapun warna kucing yang penting bisa menangkap tikus. (baca: kucing-kucing masa kini enggan makan tikus karena perubahan menu makanan).
Ketiga pasangan Capres-Cawapres adalah anak bangsa yang terbaik yang disiapkan untuk menahkodai ‘Perahu Phinisi Nusantara’ yang besar dan plural. Semua itu dibingkai dalam pita Bhineka Tunggal Ika.
Karena ini bukan stand up komedi demokrasi, maka tentu persiapan mereka para jawara bangsa untuk memenangkan kontestasi politik ini penuh dengan perhitungan yang matang terencana dan perjuangan full power. Laskar Antasena, laskar Antareja, dan laskar Gatotkaca adalah menjadi pola permainan mereka.
Perang dunia maya, perang pencitraan dan penggalangan massa pun sedang dikerahkan di sedengah papan. Mulai dari Psywar, Baliho war hingga Star wars. Seluruh instrument dan kekuatan dikerahkan. Pola intelegent-kontra intelegent, paranormal hingga paranoid, buzzer hingga sniper black campaign. Pokoknya semua serba ada.
Keunggulan-keunggulan yang mereka pamerkan tak bisa lepas dari strategi kampanye, isu-isu yang thesa-antithesa, latar belakang paslon mulai dari rekam jejak, pendidikan,umur,agama, ras dan lain sebagainya, kondisi sosial dan politik nasional bahkan global saat ini. Tentu semua hal di atas hanya satu paragraf di antara ratusan paragraf pemasaran politik.
Luar biasanya lagi ketiga paslon ini adalah petarung-petarung bangsa yang bukan in-cumbent. Tentu ini akan makin seru dan asyik. Starting point nya semua dari titik nol.
Sesungguhnya dalam pesta demokrasi ini, aktor utamanya adalah rakyat. Rakyat Indonesia berhak menikmati pesta ini. Rakyat adalah raja. Namun karena kekurang cukupan informasi dan pengetahuan serta kekurang cakapan dalam mengambil peran aktif. Maka segelintir elit, agen, komunitas, institusi merasa bisa mengambil peran aktif itu. Seakan akan mereka adalah ahlinya ahli dalam pemasaran politik. Namun mereka enggan dikatakan calo politik.
Akan elegent kalau di sebut consultan politik, team sukses atau team pemenangan meski cara yang ditempuh adalah harus memenangkan paslon yang telah memesan dan mengorder.
Para koalisi partai pendukung tentu mengedepankan alasan kesamaa visi dan misi, meski kenyataannya adalah sebuah sinergisitas kepentingan.
Ketika saya di tengah padang sabana masyarakat, ada istilah akan menjadikan dan akan dijadikan. yang saya jumput di sela-sela akar rumput konstituen. Sebuah istilah yang saya dapat dari sahabat saya di sudut kabupaten.
Apa itu diksi yang terasa asing namun kok mak jleb
Di balik pantulan cermin maya, tampaklah 3 auditorium besar dan megah. Masing-masing auditorium telah diberi label Anis-Muhaimin (1), Prabowo-Gibran (2) dan Ganjar-Mahfudz (3).
Ketika melihat auditorium 1 tampaklah kursi parlemen sebanyak 167 buah yang disewa dari partai Nasdem, PKB dan PKS.
Kemudian pandangan kita mengarah ke auditorium 2, maka tampaklah kursi parlemen sebanyak 261 kursi yang dimiliki dan di sewa dari Partai Gerindra, Partai Golkar, PAN, PBB dan partai Demokrat.
Selanjutnya ketika pandangan mengarah pada auditorium 3 tampak kursi parlemen sebanyak 147 kursi yang dimiliki dan di sewa dari PDIP, PPP. Maka jika para paslon capres-cawapres berharap 100 persen dari kursi parlemen, maka parlemen “akan menjadikan”‘ Prabowo-Gibran sebagai pemenangnya.
Dan ini yang namanya aklamasi bukan demokrasi. Namun karena rakyatlah aktor utama, maka rakyatlah yang akan memilihnya dan para paslon tersebutlah yang “‘akan dijadikan” pemenangnya.
Maka berangkat dari “akan dijadikan” inilah para elit,agen,komunitas,teamses,teamnang dan lain sebagainya yang terangkum dalam bahasa elegant Consultan politik menawarkan berbagai pola pemasaran politik. Sementara menurut Butler dan Collins (2001), pemasaran politik adalah konsep permanen yang harus dilakukan oleh sebuah partai politik, politikus, atau kontestan dalam membangun kepercayaan citra publik.
Kepercayaan citra publik inilah puncak pesta demokrasi akan terjadi dan sebagai “‘Bende Nusantara” akan berbunyi dan bergantilah presiden dan wakil presiden dari yang sebelumnya diganti yang terpilih secara demokratis.
Narasi di atas hanyalah satu bara di antara ratusan nyala problematika negara kita. Ada beberapa windows masalah yang masih tercecer di antaranya adalah kemiskinan, disabilitas (cacat fisik), kenakalan remaja (cacat moral dan mental), penyakit menular, aliran sesat yang dilakukan oleh para obsesionist, konflik sara yang tak kunjung reda, masih memposiskan Pancasila sebagai alat kepentingan sekelompok dan belum menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup dan nafas berbangsa dan bernegara dan seterusnya, dan seterusnya.
Maka ketika libido politiknya mencapai puncak orgasme, maka berpotensi pada sebuah kelumpuhan bernegara. Manakala megalomania politik menjadi kutukan karma diri, maka paranoid kebenaran menjadi sikap subyektism yang menghilangkan akal sehat budi mulia dan membuang sifat Rahmatan lil ‘alamin serta puncaknya hilang rasa keadilan semesta.
Dan andaikan hal ini menjadi pemahaman jamak dan lumrah hingga menggeser budaya kita yang luhur menjadi budaya kudu menang dengan menghalalkan cara. Maka retak kapal Phinisi Nusantara akan menganga melebar dan takutnya remah ambyar.
Bangunan Nusantara yang kokoh akan retak dan roboh. Akankah ini yang di inginkan. Tentu kita tidak berani menakar orang lain, kecuali kita belajar bercermin sembari berdoa. Agar negri ini tetap utuh dalam wujud NKRI yang menuju Indonesia Jaya.
*Pemerhati Sosial Politik tinggal di Maumere