Jurnalisme WargaRagamUncategorized

 MENGENANG P. KURT BARD SVD: P. Kurt Bard SVD: Warga „Stadt Gottes“ Mataloko (2)

Oleh: Stefanus Wolo Itu

Imam Projo KAE, Misionaris Fidei Donum Di Keuskupan Basel Swiss

Bulan Desember 1967 pimpinan SVD mengutus P. Kurt ke seminari Mataloko. Dia merasa berat meninggalkan Hokeng dan orang-orang kecintaannya. Tapi dia harus taat kepada pimpinan dan siap diutus ke seminari Mataloko.   Dia meninggalkan lembah Hokeng menuju lembah Sasa.

Tahun 1967-1987, Pater Kurt mengabdi di Seminari Mataloko. Dia menjalankan tugasnya sebagai  imam dan pendidik. P. Kurt adalah imam yang setia dengan doa dan ekaristi. Beliau selalu menyiapkan ekaristi dengan baik. Dia menyiapkan pelajaran dan kotbah-kotbah tertulis dan membawakannya dengan bahasa Indonesia yang sangat bagus.

Sebagai pendidik beliau memberikan motivasi belajar kepada anak-anak seminari. Dia menanamkan kedisiplinan pada para siswa. Dia mendidik mereka untuk memperhatikan hal-hal kecil dan peduli pada kebersihan. Dia menjadi bapak rohani bagi anak-anak seminari.

Dia menjadi teman bermain anak-anak seminari di lapangan bola kaki, basket dan tenis meja. Dia menyiapkan sepatu bola untuk anak-anak seminari. Mereka membelinya dengan cara mencicil. Ada juga yang berhutang dan beliau menghapus hutang itu. Beliau menghibur anak-anak seminari dengan film-film animasi dan  edukasi dari Eropa. 

Tahun 1987-2022 P. Kurt mengabdikan diri di kemah Tabor. Ia menata kemah Tabor. Dia menata gedung-gedung, membuat pengembangan sambil tetap mempertahankan gaya arsitektur Eropa. Dia menata taman-taman dengan bunga-bunga indah. Dia mendampingi karyawan/wati menanam sayur-sayuran bergisi ala Eropa seperti kentang dan wortel.                                                       

Bila ke kemah Tabor, rasa-rasanya kita sedang menikmati musim semi di Eropa. Saya ingat kata-kata St. Arnoldus Jansen: „Pada musim semi, kita melihat bagaimana tanaman-tanaman, terbentuk indah, tumbuh dari tanah yang gelap, kotor dan segera berdiri di hadapan kita dalam segala keindahan warna warninya dan dengan mata berbinar menata kita mesra bagai utusan-utusan Allah. Dari manakah datangnya mereka itu? Jari Allah, Roh Kudus sedang bekerja di sini“. Sebagai perpanjangan jari Allah, P. Kurt menata kemah Tabor dengan bunga-bunga indah.

Kurang lebih 55 tahun Pater Kurt menjadi warga lembah Sasa. Mengapa P. Kurt menghabiskan lebih dari setengah usia hidupnya di sana? Mengapa Mataloko menjadi tanah air terakhir, tempat raganya dimakamkan ? Saya tak sempat bertanya pada P. Kurt.  Tapi saya coba saja menulis dugaan saya.

Dari sisi cuaca, cuaca di Mataloko mirip di Theley, kampung halamannya P. Kurt. Curah hujannya baik. Alamnya sejuk, udaranya dingin meski sering ditutup kabut tebal tanpa salju seperti di Theley. Mataloko adalah „Theley in Flores“. Theley di Flores dengan tiga ikon bangunan tua bergaya arsitektur Eropa: gereja paroki Mataloko, Seminari menengah St. Yohanes Berkhmans dan kemah Tabor Mataloko.

Topografi Mataloko rupanya tak jauh berbeda dengan Theley. Bukit Sasa dan Pore di utara, deretan perbukitan  Wolo Roja, Wolo Beo, Roba Mopa dan Siu Toro ke arah Doka dan Were, bukit  Sara dan gunung berapi Ebu Lobo di sebelah timur Mataloko rupanya mengingatkan Pater Kurt akan gunung Schaumberg di kampungnya. Begitupun dengan pohon-pohon albesia yang rindang.

Kehadiran seminari Mataloko tentu juga memberi semangat tersendiri bagi P. Kurt. Para Misionaris Eropa telah mewariskan empat kultur penting di seminari. Keempat kultur ini adalah intelektual, religius, musik dan olah raga. Kultur ini juga turut mempengaruhi  kehidupan masyarakat sekitar dan membuat P. Kurt tetap menyatu dengan Mataloko.                                                                                      

Di seminari P. Kurt bisa mengenangkan suasana seminari menengah Sankt Wendel dulu. Dia mendengar paduan suara merdu, orkes musik serta menikmati pentasan teater anak-anak seminari. Di sana dia bisa bersepeda santai dan turut bermain bola kaki. Pater Kurt adalah pencinta bola kaki. Dia pernah ingin bermisi di Amerika latin hanya karena kecintaannya pada sepak bola. Orang-orang Golewa dan Ngada pada umumnya sangat menggandrungi gaya sepak bola Jerman. Kegandrungan ini tentu tak terlepas dari peran peran misionaris Jerman dalam diri P. Kurt Bard dan Br. Othmar.                                                                                                                                          Pater Kurt sangat menyukai karakter orang-orang Mataloko dan sekitarnya (Ratogesa, Dadawea, Radabata, Were, Todabelu, Sarasedu, Sangadeto).

Kata P. Kurt: „Mereka memiliki karakter religius yang kuat dan semangat dalam kehidupan iman. Setiap hari minggu banyak yang datang ke gereja. Jumlah perempuan laki-laki sama banyak. Mereka sangat terbuka, tidak tersinggung dan mudah diajak dialog“.

Karakter ini memudahkan Pater Kurt masuk dalam kehidupan mereka. Dia mencintai inkulturasi dalam gereja. Tahun 2010, P. Kurt merayakan misa inkulturasi untuk belasan orang dari kampungnya Theley di gereja Were. Mereka sangat terkesan dengan koor dan tarian liturgi meriah. „Nach ihrer Rückkehr nach Deutschland nach Deutschland zeigten sich die Gäste aus der saarländischen Heimat von der Arbeit ihrer Theleyer Missionare tief beeindruckt“, tulis P. Agatheus Ngala SVD(Misionaris asal Wukir yang bekerja di Missionsprokur Sankt Augustin).

P. Kurt menginginkan liturgi yang berwajah budaya dan pengungkapan iman yang berwajah lokal. Salah satu muridnya, Dr. Watu Yohanes Vianey menulis: „P. Kurt membangun kapela Were dengan pendekatan inkulturasi yang progresif. Ia membuat meja altar dari Nabe Meze atau bahan air berkat diambil dari ritus kela nio“.

Saya ingat satu kesempatan sidang pastoral keuskupan di Kemah Tabor, Pater Kurt membawakan kotbah dan refleksi menarik tentang inkulturasi. Pater Kurt juga sering menggunakan busana adat Ngada dalam perayaan ekaristi. Saya Kita bisa menyaksikan foto-foto beliau di media sosial.

Pater Kurt menghidupi spiritualitas SVD di Mataloko. Mataloko harus tetap menjadi „Stadt Gottes atau Kota Allah“. Saya mengambil nama Stadt Gottes ini dari nama majalah yang terbit di Steyl tanggal 6 Januari 1878. P. Arnold Jansen selalu mengingatkan para misionaris untuk terus merangkul umat pelayanan untuk menjadi satu keluarga Allah. Stadt Gottes atau Kota Allah itu terwujud ketika sabda Allah hidup di sana dan Allah hidup dalam hati orang-orangnya.

P. Kurt tentu ingin agar seminari tetap menjadi Stadt Gottes. Seminari terwujud sebagai Stadt Gottes ketika selalu menghasilkan alumni yang berkualitas untuk gereja dan negara. Dia merawat Kemah Tabor agar menjadi „Oase Spiritual“ bagi siapapun. Kemah Tabor terwujud menjadi Stadt Gottes ketika banyak orang datang menimba kekuatan spiritual melalui retret, pertemuan rohani dan pertemuan-pertemuan pastoral lainnya.                                                                                                                                                                       

Dia mendukung karya pastoral paroki Mataloko. Paroki Mataloko menjadi salah satu lumbung panggilan terbesar dari Flores. Banyak imam dan biarawan/wati lahir dari sana dan kini bermisi di pelbagai belahan dunia. Seminari Santu Paulus dan SMAK Thomas Aquino telah menjadi lumbung-lumbung panggilan baru, selain Seminari Yohanes Berkhmans. Dulu hanya SVD, Projo dan SSPS di Mataloko. Saat ini ada Karmel, biarawati OSF dan CIJ yang berkarya di sana. Mataloko telah dan tetap menjadi Stadt Gottes.

Sejak kedatangannya ke Mataloko, Pater Kurt memberikan perhatian istimewa pada lingkungan Were. Beliau mendukung dan mendampingi lingkungan Were hingga berkembang menjadi sebuah paroki. P. Kurt adalah sang bidan utama yang membantu proses kelahiran paroki Were. P. Kurt mendukung kemajuan pendidikan baik perorangan maupun secara kelembagaan.

„Beliau mendukung panggilan orang-orang Were, sejak awal hingga mencapai puncak“, tulis kae Eddy Loke. Panggilan hidup bakti dari Were bertumbuh subur. Wolo Beo yang merupakan ikon orang Were rupanya menarik perhatian P. Kurt. Wolo Beo mirip dengan Schaumberg di Theley kampungnya. Schaumberg menghantar P. Kurt ke Wolo Beo. Wolo Beo mengalirkan misionaris-misionaris baru ke seantero dunia. „Ru Beo Meti Talo artinya Ru Beo tidak pernah kering. Panggilan selalu subur“, kata P. Bernadus Kota saat kotbah misa imam baru di Were. Were juga Stadt Gottes.

Seorang imam dari keluarga sederhana, jembatan penghubung Mataloko dan Jerman telah meninggalkan kita. Tidak semua orang Jerman atau Eropa kaya! Mereka mendukung kita dari kekurangan! Kita bisa banyak berdoa, tapi tak punya cara yang pas mendatangkan uang ke kampung kita. P. Kurt punya doa, keberanian dan cara agar sanak saudaranya menolong kita.

Terima kasih Pater Kurt Bard SVD.  Botschafter, Misionaris dari Theley yang telah membaktikan diri dan menjadi warga „Stadt Gottes Mataloko“. Di Mataloko pula engkau kembali ke Stadt Gottes abadi. Kami mengenangmu mu selalu. „Die Erinnerung ist ein Fenster, durch das wir Dich sehen können, wann immer wir wollen. Kenangan adalah sebuah jendela, melaluinya kami dapat melihat engkau, kapan saja kami inginkan“. Auf Wiedersehen.    (Habis)                                                                           

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan