Pemuda Pemudi Bergerak, Pendidikan Melaju: Bersatu Membangun Masa Depan Bangsa
 
						(sebuah refleksi)
Oleh: Fr. M. Yohanes Berchmans, BHK
“Bangsa yang besar bukan hanya dibangun oleh pemimpin, tetapi oleh pemuda yang bergerak dan belajar tanpa henti”
“Ketika pemuda membaca, bangsa berpikir…” dan “Literasi bukan sekadar kemampuan membaca…”
Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia mengenang momentum bersejarah Sumpah Pemuda, sebuah titik balik ketika para pemuda dari berbagai penjuru nusantara menyatukan tekad: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Dan tema hari sumpah pemuda tahun 2025 adalah “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu”. Tema ini menekankan pentingnya kolaborasi dan aksi nyata generasi muda dalam memperkuat persatuan bangsa, terutama di era digital yang penuh tantangan dan peluang. Bahwa di tengah derasnya arus digitalisasi dan perubahan zaman, tema “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu” menjadi seruan penting bagi generasi muda untuk mengambil peran aktif dalam membangun bangsa. Pemuda dan pemudi Indonesia hari ini tidak hanya menjadi penonton, tetapi pelaku utama dalam berbagai bidang: teknologi, pendidikan, sosial, dan ekonomi. Mereka bergerak melalui inovasi, kreativitas, karya, dan suara yang disampaikan lewat media sosial, startup, dan komunitas daring. Gerakan ini bukan sekadar tren, melainkan wujud nyata dari semangat perubahan sosial yang positif. Namun, gerakan pemuda tidak akan berarti tanpa semangat persatuan. Di era digital yang mempertemukan berbagai latar belakang suku, agama, dan budaya, tantangan terhadap persatuan semakin kompleks. Ruang digital sering kali menjadi medan polarisasi, hoaks, dan ujaran kebencian. Karena itu, pemuda Indonesia diajak untuk menjadi penjaga persatuan (guardian of unity), membangun ruang digital yang sehat, inklusif, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan. Dan relevansi tema ini tercermin dalam berbagai aksi nyata: kolaborasi lintas daerah dari Sabang sampai Merauke dan dari Miangas hingga Rote, yang kini dimungkinkan oleh teknologi digital. Gerakan sosial berbasis media sosial, hackathon (lomba membuat solusi teknologi dalam waktu singkat) nasional, dan komunitas belajar daring menjadi contoh bagaimana pemuda bisa bersatu dalam keberagaman. Mereka berkontribusi melalui konten edukatif, aplikasi digital, dan advokasi kebijakan publik, bahkan menjadi influencer (orang yang bisa memengaruhi orang lain lewat media sosial) namun positif, yang menyebarkan semangat nasionalisme dan toleransi. Jadi, spirit Sumpah Pemuda 1928 tetap hidup dan relevan hingga saat ini. Nilai “satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa” menjadi fondasi yang kokoh, bahkan di era digital. Bahasa Indonesia kini menjadi perekat komunikasi lintas platform dan generasi, memperkuat identitas nasional di tengah globalisasi. Meski begitu, tantangan tetap ada. Disinformasi, radikalisme digital, budaya instan, dan kesenjangan akses teknologi di daerah terpencil menjadi hambatan yang harus dihadapi bersama. Di balik tantangan itu, tersimpan harapan besar: pemuda Indonesia menjadi pelopor literasi media, penjaga etika digital, dan agen perubahan sosial (agents of social change). Dengan semangat persatuan dan inovasi, mereka adalah kunci menuju Indonesia Emas 2045. Oleh karena itu, peringatan Hari Sumpah Pemuda ini bukan sekadar ritual tahunan. Ia adalah panggilan untuk menghidupkan kembali semangat persatuan dan gerakan kolektif dalam menghadapi tantangan zaman. Presiden pertama Republik Indonesia, Bung Karno, pernah berkata bahwa “Perjuanganku lebih mudah karena melawan penjajah. Namun, perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.” Kutipan ini menggambarkan bahwa tantangan zaman kini bukan lagi kolonialisme dalam bentuk fisik, melainkan bentuk-bentuk penjajahan baru yang lebih halus: kemalasan berpikir, rendahnya literasi, apatisme terhadap pendidikan, pudarnya semangat kebangsaan. dan degradasi moral serta karakter adalah wajah-wajah baru dari penjajahan modern. Mereka tidak datang dengan senjata, tetapi dengan kelalaian, ketidakpedulian, dan hilangnya arah. Ketika generasi muda kehilangan semangat belajar, enggan berliterasi (membaca & menulis), dan tidak peduli terhadap masa depan bangsanya, maka kita sedang menghadapi ancaman yang jauh lebih berbahaya daripada penjajahan masa lalu. Oleh sebab itu, lebih jauh bahwa di era digital yang serba cepat, pendidikan menjadi medan perjuangan baru. Bukan lagi hanya soal membaca dan menulis, tetapi tentang membentuk karakter, daya saing, dan kesadaran kebangsaan. Di sinilah pemuda dan pemudi Indonesia mengambil peran sentral bergerak bukan hanya secara fisik, tetapi bergerak, tergerak dan menggerakan secara intelektual, emosional, spiritual dan moral. Bergerak secara intelektual dapat diimplementasikan melalui gagasan, ilmu, dan pemikiran kritis yang membangun. Sedangkan tergerak secara emosional dapat diaplikasikan lewat sikap empati, kepedulian, dan cinta terhadap negeri. Dan menggerakkan secara spiritual dapat diwujudkan melalui nilai-nilai keimanan, harapan, dan keteguhan hati. Dengan demikian mereka dapat berdiri teguh secara moral menjunjung tinggi kejujuran, keadilan, dan integritas. Inilah wajah pemuda Indonesia yang sesungguhnya. Mereka adalah denyut nadi bangsa, cahaya di tengah gelap, dan suara yang tak pernah padam. Di tangan dan di pundak para pemudalah, masa depan bangsa digenggam erat. Bukan semata oleh kekuatan fisik, tetapi oleh kekuatan hati yang tulus, pikiran yang tajam, dan jiwa yang menyala demi Indonesia yang lebih baik. Mereka adalah lentera yang menerangi jalan panjang menuju cita-cita kemerdekaan yang sejati. Namun, untuk melangkah ke masa depan, mereka membutuhkan bekal yang tak ternilai yakni: pendidikan. Bukan sekadar pendidikan yang mengajarkan, tetapi pendidikan yang menghidupkan. Pendidikan yang melaju yang mampu beradaptasi dengan zaman, menjangkau semua lapisan masyarakat, dan membuka ruang bagi kreativitas serta inovasi. Maka dari itu, pendidikan yang bersifat inklusif, progresif, dan berpijak pada nilai-nilai kebangsaan sangat diperlukan untuk membentuk generasi muda yang tangguh, adaptif, dan berintegritas. Tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa Pendidikan seperti itu tidak bisa berjalan sendiri. Ia membutuhkan semangat kolektif, gerakan bersama, dan komitmen dari seluruh elemen bangsa mulai dari keluarga (orang tua), sekolah (kepala sekolah, pendidik & tendik, serta peserta didik), dinas (Propinsi, Kab/Kota), Pemerintah, hingga masyarakat luas. Karena hanya dengan kebersamaan, atau kolaborasi & sinergi yang kuat, maka pendidikan kita bisa menjadi gerakan yang mentransformasi atau mengubah wajah negeri. Jadi, ketika pemuda dan pemudi bergerak, tergerak dan menggerakan, maka mereka bukan hanya menjadi penerima ilmu (recipient of knowledge), tetapi mereka menjadi penggerak perubahan (driver of change). Mereka menjadi guru di komunitasnya, inovator di bidangnya, dan penjaga nilai-nilai luhur (guardian of noble values) di tengah derasnya arus informasi. Mereka adalah jembatan antara masa lalu yang penuh perjuangan dan masa depan yang penuh harapan (a bridge between a past full of struggle and a future full of hope). Tetapi, satu tantangan besar masih membayangi: rendahnya budaya literasi. Di banyak ruang belajar, membaca masih dipandang sebagai kewajiban, bukan kebutuhan. Padahal, literasi adalah fondasi dari segala bentuk kemajuan. Ia bukan sekadar kemampuan membaca, tetapi kemampuan memahami, menganalisis, dan mencipta. Tanpa literasi, pendidikan kehilangan arah. Tanpa literasi, pemuda kehilangan daya. Maka, membangun budaya literasi adalah tugas kita bersama. Menumbuhkan cinta pada buku, pada kata, pada makna. Karena dari sanalah lahir generasi yang bukan hanya cerdas, tetapi juga bijak. Generasi yang mampu menulis sejarah baru Indonesia dengan pena yang jujur, dengan pikiran yang merdeka, dan dengan hati yang penuh cinta pada tanah air. Oleh karena itu, Hari Sumpah Pemuda bukan hanya ajakan untuk bersatu, tetapi juga seruan untuk berliterasi. Pemuda pemudi yang sedang menyenyam pendidikan harus menjadikan literasi sebagai gerakan. Membaca bukan hanya buku pelajaran, tetapi juga sejarah bangsanya, tantangan zamannya, dan peluang masa depannya. Menulis bukan hanya untuk tugas sekolah, tetapi untuk menyuarakan gagasan, membangun dialog, dan menciptakan solusi. Gerakan literasi harus menjadi bagian dari identitas pemuda Indonesia. Membentuk komunitas baca, menghidupkan perpustakaan sekolah, berbagi ulasan buku di media sosial, atau sekadar mengajak teman berdiskusi tentang isu-isu penting, semua itu adalah bentuk nyata dari “Pemuda Pemudi Bergerak”. Yakinlah bahwa ketika literasi tumbuh, pendidikan melaju. Ketika pendidikan melaju, bangsa bersatu dalam visi dan aksi. Maka, tema “Pemuda Pemudi Bergerak, Indonesia Bersatu” tidak lagi menjadi slogan kosong, tetapi menjadi gerakan nyata yang berakar dari semangat berliterasi.
Akhirnya, masa depan bangsa tidak dibangun oleh para pemuda pemudi yang pasif, tetapi oleh para pemuda pemudi yang aktif membaca, berpikir, dan bertindak. Maka, mari jadikan Hari Sumpah Pemuda sebagai titik tolak untuk menggelorakan literasi, mempercepat pendidikan, dan memperkuat persatuan. Karena hanya dengan pemuda yang bergerak, tergerak, dan menggerakkan perubahan, maka pendidikan melaju, Indonesia akan melompat menuju masa depan yang adil, makmur, dan berdaulat. “Uniti Ad Futura Gentis Aedificanda”. Semoga demikian!!!




