Opini

Sisipan Refleksi Filosofis-Pastoral Dies Natalis ke-35 Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende

       Ikhtiar Menjaga Jiwa dan Merawat Semesta

Oleh Anselmus DW Atasoge, Dosen Stipar Ende

Sekolah Tinggi Pastoral Atma Reksa Ende didirikan pada tahun 1990 oleh Mgr. Donatus Djagom, SVD, Uskup Agung Ende saat itu. Ia lahir dari semangat Gereja lokal untuk menjawab kebutuhan pastoral umat di wilayah Nusa Tenggara Timur.

Nama Atma Reksa yang berarti “penjaga jiwa”. Sebuah nama yang bernuansa panggilan mendalam untuk merawat kehidupan manusia secara utuh: spiritual, sosial, dan ekologis. Ia hadir sebagai ruang formasi yang menyatu dengan realitas sosial, budaya, dan spiritual masyarakat setempat.

Sejak awal, STIPAR Ende menegaskan komitmen terhadap pelayanan yang berakar pada nilai injili dan kearifan lokal. Selama 35 tahun, lembaga ini menjadi ruang formasi bagi agen pastoral yang kompeten secara teologis dan peka terhadap realitas sosial. Dalam konteks pluralisme Indonesia, STIPAR menjadi titik temu antara iman dan kebijaksanaan lokal. Spiritualitas yang dihayati selalu berdampingan dengan tanggung jawab sosial yang nyata.

Sebagai lembaga yang terus bertumbuh dalam dinamika zaman, STIPAR Ende tidak hanya menjaga warisan pendidikannya, tetapi juga berani membaca tanda-tanda zaman. Tahun ini, 2025, lembaga ini genap usia 35 tahun.

Perayaan Dies Natalis ke-35 yang dikemas dalam bingkai “Partisipasi Ekologis dan Sinodalitas” ini menjadi momentum penting untuk memperbarui visi dan misi kelembagaan agar tetap relevan dengan tantangan pastoral masa kini.

Dalam semangat pembaruan ini, tema besar yang diangkat bukan sekadar refleksi akademik, melainkan cerminan dari komitmen STIPAR untuk menjawab realitas dunia yang semakin kompleks dan saling terhubung.

Pemilihan tema ekologi dan sinodalitas untuk Dies Natalis STIPAR ke-35 berakar dari kesadaran mendalam bahwa krisis ekologis yang melanda dunia saat ini bukan semata-mata persoalan lingkungan, melainkan juga krisis spiritual dan moral. Kerusakan alam mencerminkan keterputusan manusia dari nilai-nilai luhur yang menghubungkan kehidupan dengan ciptaan. Dalam konteks ini, STIPAR memandang penting untuk menegaskan kembali tanggung jawab etis dan spiritual dalam merawat bumi sebagai rumah bersama, tempat berlangsungnya sejarah keselamatan dan perjumpaan antar makhluk.

Sinodalitas, sebagai semangat berjalan bersama, menjadi landasan untuk membangun komunitas yang saling mendengarkan, saling menghormati, dan terbuka terhadap keberagaman. Dalam semangat sinodal, seluruh civitas akademika diajak untuk melampaui sekat-sekat individualisme dan eksklusivisme, serta membuka ruang dialog yang jujur dan transformatif. Sinodalitas bukan hanya metode, tetapi juga spiritualitas yang menghidupkan relasi antar manusia dalam semangat kasih, solidaritas, dan tanggung jawab bersama.

Perpaduan tematis antara sinodalitas dengan kesadaran ekologis menjadi jembatan yang mengundang kita untuk memperluas horizon relasional.

Relasi itu tidak hanya dibentuk dan dibangun di antara manusia, tetapi juga dengan alam ciptaan. Relasi yang inklusif dan dialogis mencakup penghormatan terhadap tanah, air, udara, dan seluruh makhluk hidup sebagai bagian dari komunitas ciptaan. Dalam perayaan Dies Natalis ke-35 ini, STIPAR ingin menegaskan bahwa spiritualitas ekologis dan sinodalitas adalah jalan bersama menuju pemulihan relasi yang rusak, pembaruan komitmen etis, dan pengharapan akan masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan.

Dari dan dalam konteks ini, pemikiran empat tokoh besar yakni Leonardo Boff, Paus Fransiskus, Martin Buber, dan Romano Guardini yang masing-masing menawarkan lensa filosofis dan spiritual boleh menjadi bingkai untuk memperdalam makna perayaan ini.

Melalui gagasan mereka, kita diajak untuk merenungkan kembali arah pendidikan pastoral yang tidak hanya membentuk intelektualitas, tetapi juga menyentuh kedalaman relasi, kontemplasi, dan tanggung jawab ekologis.

Dalam semangat Dies Natalis, mari kita membuka hati dan pikiran untuk menyambut masa depan yang lebih inklusif, dialogis, dan penuh harapan.

Leonardo Boff, seorang teolog dan filsuf ekologi, menegaskan bahwa “Kita tidak hanya hidup di bumi. Kita adalah bagian dari bumi.” Pernyataan ini mengandung makna spiritual yang mendalam. Manusia bukanlah entitas terpisah dari alam. Sebaliknya, manusia merupakan bagian integral dari seluruh ciptaan. Relasi ini bersifat ontologis dan etis, menuntut tanggung jawab dalam menjaga harmoni ekologis.

Dalam konteks STIPAR Ende, gagasan Boff menjadi landasan penting bagi pendidikan pastoral yang berorientasi ekologis. Pendidikan ini menekankan spiritualitas ekologis sebagai kekuatan transformatif. Para pelayan umat diharapkan memiliki kesadaran ekologis yang kuat.

Mereka dipanggil untuk merawat bumi sebagai rumah bersama. Tindakan pastoral harus mencerminkan kasih terhadap seluruh ciptaan dan komitmen terhadap keberlanjutan hidup.

Paus Fransiskus, sebagai pemimpin Gereja Katolik dan penggagas semangat sinodalitas, menegaskan bahwa “Sinodalitas adalah jalan yang Tuhan harapkan dari Gereja di milenium ketiga.” Pernyataan ini menempatkan sinodalitas sebagai dimensi spiritual yang mendalam. Sinodalitas bukan sekadar metode organisasi. Ia adalah cara hidup Gereja yang menekankan kebersamaan, partisipasi, dan keterbukaan terhadap Roh Kudus.

STIPAR Ende menghidupi semangat ini dalam praksis pendidikan pastoral. Lembaga ini menjadi ruang dialog yang inklusif bagi mahasiswa, dosen, dan masyarakat. Pendidikan pastoral yang sinodal membentuk pelayan umat yang mampu mendengarkan secara aktif. Mereka diajak untuk merangkul keberagaman dan membangun komunitas yang penuh kasih.

Pendekatan ini memperkuat relasi antar pribadi dan memperdalam spiritualitas pelayanan.

Martin Buber, filsuf dialogis, menegaskan bahwa “Dalam relasi ‘Aku dan Engkau’, kita menemukan makna terdalam kehidupan.” Pernyataan ini menekankan pentingnya perjumpaan yang autentik. Pendidikan, menurut Buber, bukan sekadar transfer pengetahuan. Ia adalah proses relasional yang membebaskan dan memanusiakan. Relasi yang sejati melahirkan tanggung jawab etis dan spiritual terhadap sesama dan ciptaan.

Dalam semangat Dies Natalis STIPAR Ende, nilai dialogis ini menjadi sangat relevan. Relasi antar manusia dan alam perlu diperkuat melalui dialog yang tulus. Penghormatan terhadap keberadaan lain menjadi dasar spiritualitas ekologis. Perayaan ini bukan hanya mengenang sejarah institusi. Ia menjadi momentum untuk memperbarui komitmen terhadap relasi yang membangun, baik secara spiritual maupun sosial.

Romano Guardini, filsuf spiritualitas dan liturgi, menegaskan bahwa “Manusia hanya dapat memahami dirinya dalam terang misteri.” Pernyataan ini mengandung kedalaman antropologis dan teologis. Manusia tidak dapat dipahami secara utuh hanya melalui rasionalitas.

Ia perlu memasuki ruang kontemplatif untuk merenungkan misteri kehidupan, penderitaan, dan keindahan ciptaan. Pendidikan pastoral yang sejati harus membuka ruang ini sebagai bagian integral dari proses formasi.

Dalam terang spiritualitas misteri, Dies Natalis STIPAR Ende bukan sekadar perayaan tahunan. Ia menjadi undangan untuk masuk lebih dalam ke dalam dinamika pelayanan. Mahasiswa dan pendidik diajak membiarkan diri dibentuk oleh pengalaman iman. Proses ini menuntun pada persembahan hidup sebagai jawaban atas panggilan Tuhan. Perayaan menjadi titik tolak pembaruan spiritual dan komitmen pastoral yang lebih mendalam.

Rangkaian kegiatan Dies Natalis bukan sekadar perayaan tahunan. Ia merupakan manifestasi dari spiritualitas yang hidup dan dinamis. Setiap aktivitas mencerminkan iman yang berakar dalam kehidupan nyata. Spiritualitas tidak hanya dirayakan, tetapi dihayati secara kolektif dan transformatif.

Kegiatan seperti debat, puisi, fragmen, dan bakti sosial menjadi ruang ekspresi iman. Mahasiswa belajar berpikir kritis dan etis melalui diskusi isu sosial. Mereka juga diajak untuk merasakan keindahan kerja sama dalam kegiatan memasak bersama. Dalam proses ini, nilai-nilai injili dihidupi secara konkret dan menyentuh relasi antar pribadi.

Olahraga pun memiliki dimensi spiritual yang penting. Ketika tubuh dirawat dengan baik, Roh Kudus dimuliakan. Tubuh bukan sekadar entitas biologis, tetapi ruang perjumpaan kasih dan semangat. Aktivitas fisik menjadi sarana membangun kebersamaan dan disiplin diri.

Seluruh rangkaian kegiatan Dies Natalis membentuk pribadi yang utuh. Mahasiswa dilatih untuk beriman secara reflektif, berpikir secara rasional, dan bertindak secara berdaya. Pendidikan pastoral yang integral menumbuhkan kesadaran akan panggilan hidup. Dies Natalis menjadi momentum pembentukan karakter yang menyatu antara spiritualitas, intelektualitas, dan solidaritas sosial.

Merayakan Dies Natalis ke-35 STIPAR Ende merupakan sebuah panggilan spiritual dan historis. Ia mengajak seluruh civitas akademika untuk kembali merenungkan identitas sebagai Atma Reksa, penjaga jiwa yang sekaligus merawat semesta.

Dalam nama itu tersimpan tanggung jawab besar: membentuk pelayan umat yang tidak hanya beriman, tetapi juga berbelarasa terhadap dunia yang terluka.

Di tengah krisis ekologis dan fragmentasi sosial yang semakin nyata, STIPAR Ende diharapkan tetap menjadi mercusuar harapan. Sebuah lembaga yang tidak hanya mengajarkan teori, tetapi juga membentuk hati yang mampu mendengarkan jeritan bumi dan manusia. Pendidikan pastoral di sini harus menjadi ruang pembebasan, tempat di mana spiritualitas bertemu dengan keberanian untuk bertindak.

Momentum Dies Natalis STIPAR Ende bukan hanya perayaan institusional. Ia adalah ruang formasi yang reflektif, dialogis, dan transformatif. Seluruh insan akademik dan masyarakat-umat diajak untuk memperbarui komitmen spiritual dan sosial. Dalam ruang ini, pendidikan pastoral menemukan makna baru sebagai proses pembentukan pribadi yang utuh dan berdaya.

Agen pastoral yang lahir dari STIPAR Ende diharapkan mampu berjalan bersama umat. Mereka dipanggil untuk membangun komunitas yang inklusif dan penuh kasih. Wajah Gereja yang hidup tercermin dalam pelayanan yang merawat jiwa dan kehidupan. Sebab, menjaga jiwa berarti menjaga manusia, budaya, dan alam ciptaan sebagai satu kesatuan yang saling terkait.

Ad multos annos, STIPAR Ende! Semoga terus bertumbuh dalam semangat pelayanan yang reflektif dan transformatif. Menjadi ruang pendidikan yang dialogis, inklusif, dan berakar pada nilai-nilai injili.

Menghidupi spiritualitas yang menyentuh kehidupan nyata. Membentuk pelayan umat yang beriman, berakal, dan berdaya. Menjadi wajah Gereja yang hidup di tengah dunia. Tetap setia merawat manusia, budaya, dan alam ciptaan sebagai satu kesatuan yang suci.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan