Opini

Refleksi Kenegaraan: 80 Tahun NKRI  Luka, Harap, dan Tekad Yang Tak Mati Serta Menyala Abadi

Oleh : Vinsensius Jeradu (Kantor Badan Promosi Uniflor )

Delapan puluh tahun sudah negeri ini berdiri. Sebuah usia yang tak lagi muda, namun belum juga tua. Ia berada di sebuah persimpangan: antara kematangan dan kebingungan. Dalam rentang waktu delapan dekade ini, Indonesia bukan hanya mencatat sejarah; ia menuliskannya dengan darah, air mata, dan janji-janji yang kerap dikhianati.

Kita berdiri di atas tanah yang pernah dibakar oleh amarah penjajah, disiram oleh darah pejuang, dan digerogoti oleh kerakusan anak bangsa sendiri. Kita adalah pewaris kemerdekaan yang dibeli dengan nyawa, namun diwariskan dalam bentuk negara yang terus belajar menjadi dewasa.

1. Dari Api Perjuangan ke Bara Ketimpangan

Kemerdekaan 1945 bukan akhir dari perjuangan ia adalah awal dari pertarungan tak kasatmata: melawan kebodohan, kemiskinan, dan pengkhianatan dari dalam.

Di masa-masa awal, Indonesia adalah mimpi kolektif yang sedang dibentuk. Ada semangat gotong royong, ada idealisme, ada revolusi mental yang nyata. Tapi sejarah tak pernah steril dari ambisi pribadi dan haus kuasa.

Darah para pahlawan belum kering di tanah ketika korupsi mulai menjalari tubuh negara. Bahkan, di bawah bendera merah-putih pun, kita tak luput dari penjajahan model baru kapitalisme global, oligarki lokal, dan politik transaksional.

2. Demokrasi: Mimpi yang Tak Pernah Tidur

NKRI telah mencicipi semua bentuk pemerintahan: dari demokrasi parlementer, otoritarianisme Orde Baru, hingga demokrasi prosedural yang kita rayakan hari ini. Tapi pertanyaannya: benarkah kita merdeka?

Suara rakyat sering kali hanya penting saat pemilu. Setelah itu, mereka kembali menjadi penonton atau bahkan korban dari kebijakan-kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir elite. Di usia 80 tahun ini, demokrasi kita sudah berjalan, tapi pincang. Rakyat masih harus membayar harga untuk sekadar didengar.

3. Keberagaman: Anugerah atau Alat Pecah Belah?

Indonesia dibangun di atas kebinekaan dan itu adalah kekuatannya. Tapi juga sekaligus titik rapuhnya.

Dari Aceh hingga Papua, suara-suara sumbang tentang ketidakadilan terus bergema. Minoritas masih merasa terpinggirkan, dan mayoritas kadang merasa berhak mengatur hidup orang lain. Nasionalisme menjadi sempit ketika ia dipakai untuk membungkam perbedaan, bukan merayakannya.

4. Merawat Luka, Menanam Harap

Refleksi 80 tahun NKRI bukan tentang puja-puji semata. Ia harus menjadi momen kontemplasi: apakah kita telah benar-benar setia pada cita-cita kemerdekaan?

Apakah pendidikan sudah menjangkau seluruh pelosok dengan adil?

Apakah petani dan nelayan sudah hidup layak?

Apakah anak muda punya ruang untuk bersuara tanpa takut dilabeli “radikal”?

Apakah hukum benar-benar tajam ke atas, bukan tumpul ke elite?

Jika jawabannya masih “belum”, maka usia 80 tahun ini harus menjadi tamparan. Negara ini bukan sekadar teritorial—ia adalah janji. Janji kepada setiap anak yang lahir di rahim ibu pertiwi bahwa mereka punya hak yang sama untuk hidup, berkembang, dan bermimpi.

5. Darah yang Masih Mengalir

Darah para pejuang tidak berhenti di 1945. Ia terus mengalir dalam tubuh anak muda yang berani bersuara. Dalam petani yang tak ingin tanahnya dirampas. Dalam ibu-ibu yang memperjuangkan hak anaknya atas pendidikan. Dalam masyarakat adat yang menjaga hutan meski dilabeli “penghambat pembangunan”.

Darah itu tak boleh kering. Ia harus tetap panas, mengalir, dan membakar kesadaran kita: bahwa menjadi Indonesia bukan hanya identitas, tapi sikap. Bukan hanya warisan, tapi perjuangan.

Penutup:

80 tahun NKRI Adalah Usia Pengujian.

Ia bisa menjadi batu loncatan menuju keadilan sosial yang nyata, atau jebakan nostalgia yang meninabobokan kita dalam semu kemerdekaan. Refleksi ini bukan untuk meratapi, tapi untuk membangunkan.

Kita tidak boleh menjadi generasi yang hanya hidup dari nama besar “Indonesia” tanpa membayar harganya. Karena negeri ini, sejatinya, belum selesai diperjuangkan.

NKRI harga mati?

Mungkin.

Tapi yang lebih penting: keadilan sosial  harga hidup.

Related Articles

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button
WhatsApp

Adblock Detected

Nonaktifkan Ad Blocker untuk melanjutkan