Diskusi Publik PPMAN Terkait Waduk Lambo Nagekeo, Begini Hasilnya
MAUMERE, GlobalFlores.com – Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menggelar diskusi publik terkait pembangunan bendungan Mbay/Lambo pada senin, 13 Juni 2022 di Komunitas Adat Rendu, di Malapoma, Desa Rendu Butowe, Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur.
Diskusi publik tersebut bertajuk ‘Pengakuan dan Perlindungan Hak Asasi Manusia Bagi Masyarakat Adat Di Indonesia’.
Dalam diskusi publik tersebut, hadir pula sejumlah pembicara diantaranya Wakil Ketua Komnas HAM, Munafrizal Mana, Wakil Ketua Kompolnas, Pongky Indarti, Ditjen Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat, Syamsul Hadi, serta Ketua Indonesia Police Watch, Sugeng Teguh Santoso.
Pembicara lainnya adalah Deputi II PB AMAN, Erasmus Cahyadi, dan Aktifis Perempuan asal Flores, Selviana Yolanda serta Kapolda NTT yang diwakili oleh Kabid Propam Polda NTT, Dominicus Savio Yepormasi. Diskusi dimoderatori oleh Koordinator PPMAN Region Bali Nusra, Anton Johanis Bala.
Diskusi juga menghadirkan masyarakat adat yang terdampak Pembangunan Bendungan Mbay/Waduk Lambo dan para kader masyarakat adat sedaratan Flores.
Koordinator PPMAN region Bali Nusra, John Bala menjelaskan bahwa Pembangunan Bendungan Mbay/Waduk Lambo juga berdampak terhadap situasi pemenuhan hak-hak masyarakat adat terdampak. Masyarakat Adat dimaksud adalah masyarakat adat Rendu, Masyarakat Adat Lambo dan Masyarakat Adat Ndora sebagai pemilik ulayat yang akan dijadikan areal bendungan.
Di satu sisi ada kelompok yang menyetujui pembangunan bendungan sementara di sisi lain ada kelompok yang belum sepakat lantaran lokasi yang direncanakan dinilai merupakan wilayah ulayat yang tempat pelaksanaan ritual, kebun, dan lahan pengembalaan ternak serta makam leluhur.
Komunitas adat Rendu misalnya, selama ini dituding menolak pembangunan bendungan padahal mereka bukan menolak pembangunan melainkan menolak lokasi waduk. Mereka bahkan menawarkan lokasi lain untuk dijadikan waduk atau bendungan. Sementara itu, di sisi lain mereka yang telah menyatakan setuju pun merasa belum mendapatkan jaminan terpenuhinya hak-hak mereka.
Oleh karenanya, masyarakat adat yang terlibat dalam diskusi bersepakat untuk menggelar dialog bersama yang demokratis, egaliter, dan bermartabat untuk mendapatkan solusi yang memberikan kesejahteraan bagi masyarakat adat.
“Kami komunitas adat Lambo, Rendu dan Ndora adalah satu keluarga. Permintaan saya hanya satu, buka ruang komunikasi agar apa pun yang terjadi kemarin dapat kami selesaikan bersama sesuai spirit kolo sa toko tali sa tebu, to’o Jogho waga sama (semangat gotong royong),” ungkap tokoh adat Lambo, Marselinus Lado yang juga merupakan Kepala Desa Labolewa.
Para anggota komunitas adat juga mengusulkan dialog dimediasi oleh Komnas HAM, Ombudsman serta Ditjen Kepercayaan Kepada Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat.
Mereka juga mengusulkan sejumlah materi dialog diantaranya terkait kompensasi, rekognisi dan relokasi. Masyarakat adat terdampak juga mendesak Pemda Nagekeo untuk turut terlibat dalam dialog nantinya. (rel)