Perda Hak Ulayat Dinilai Mampu Redam Konflik Tanah HGU Nangahale, Sikka

MAUMERE, GlobalFlores.com – Untuk meredam konflik tanah HGU Nangahale perlu ada Perda sebagai payung hukumnya.
Hal ini disampaikan Dosen Universitas Surabaya (Ubaya) yang juga putra daerah Kabupaten Sikka, Marianus Gaharpung S.H, kepada media ini, Senin (6/6/2022) di Maumere.
“Perda hak ulayat dapat meredam konflik GHU tanah Nangahale di Nian Tanah Sikka,”kata Marianus.
Marianus menjelaskan, menyimak pemberitaan media online belakang ini tentang kelompok masyarakat adat yang mempertahankan tanah hak ulayat terhadap investasi, baik negara maupun swasta semakin marak.
Ia mencontohkan,pembangunan waduk Lambo Mbay dan perpanjangan Hak Guna Usaha ( HGU) tanah misi Patiahu Nangahael Maumere yang diklaim masyarakat adat sebagai tanah hak ulayat.
Mengaapa harus selalu ada konflik? Menurut Marianus, hal itu terjadi bisa saja karena adanya perbedaan paradigma pengelolaan sumber daya alam antara hukum negara dengan hukum adat. Penyebab utamanya kata Marianus itu yakni konflik hak ulayat.
Hukum negara menganut sifat penguasaan individual formal, dan menitik beratkan pada sisi ekonomi yang terkadang bertentangan dengan paradigma hukum adat yang komunal , informal serta menitik beratkan kepada kepentingan bersama ( ulayat).
Dimata masyarakat adat hak ulayat merupakan hak penguasaan yang tertinggi atas tanah dalam hukum adat yang meliputi semua tanah, termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyarakat hukum adat tertentu yang merupakan tanah kepunyaan bersama para warganya.
“Ketika bersentuhan dengan aktivitas yang mengedepankan keuntungan ekonomis di atas tanah hak ulayat aspek negosiasi dalam kebersamaan dengan masyarakat adat yang saling menguntungkan terkadang diabaikan. Prinsip investor atau negara pokoknya demi terwujudnya keadilan masyarakat,”kata Marianus.
Pertanyaannya lanjut Marianus, keadilan yang bagaimana yang dimaksud? Keadilan yang sejati adalah keuntungan bersama. Apakah investor dan negara mengedepankan aspek keadilan sebagai keuntungan bersama ketika melakukan HGU atas tanah hak ulayat ?.
Menurut Marianus, pemberian HGU atas tanah ulayat warga Patiahu Nangahale, dimana tanah ulayat merupakan Hak Kolektif dari masyarakat adat tersebut maka hak masyarakat adat Patiahu Nangahale harus dipenuhi sebagaimana yang telah diamanahkan oleh peraturan Perundang-undangan.
Terkait dengan pemberian HGU untuk perkebunan Patiahu Nangahale lanjut Marianus, seharusnya masyarakat Patiahu Nangahale mendapatkan hak atas kehadiran perusahaan PT. Krisrama mengelola lahan misalnya, mempekerjakan warga masyarakat adat Patiahu Nangahale, mendirikan balai pengobatan dan memberikan beasiswa kepada anak anak prestasi dari warga masyarakat adat di sekitar tanah hak ulayat tersebut.
“Semua eksistensi HGU wajib mengedepan hak-hak masyarakat adat setempat dimana sasaran utama pemanfaatan tanah ulayat adalah untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat adat di Patiahu Nangahale,”kata Marianus.
Marianus menambahkan bahwa, akar dari konflik HGU Patiahu Nangahale selama ini yakni sengketa batas yang berujung saling klaim kepemilikan.
Harus dipahami lanjutnya bahwa keabsahan dan daya berlakunya hukum adat tentu tidak bergantung pada proses formalisasinya sebagai hukum negara, melainkan pada tempat yang memberikan kesempatan kepada masyarakat hukum adat untuk berinteraksi dengan pihak luar dalam ruang –ruang hukum yang disediakan oleh negara.
Marianus bahkan mempertanyakan apakah pemerintah Kabupaten Sikka sudah memiliki Peraturan Daerah (Perda) yang mengatur hak ulayat dikabupaten Sikka, tentang pengukuran, penguatan dan perlindungan masyarakat hukum adat Nian Tanah Sikka ?
“Langkah ini yang harus dilakukan DPRD dan Bupati Sikka sebagai perwujudan dari kewajiban konstitutif negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak asasi warga negara khususnya masyarakat adat. “ungkap Marianus.
Jika ada Perda lanjut Marianus, sudah pasti akan menciptakan kondisi dimana hukum adat dapat ditegakkan dalam melindungi wilayah adat masyarakat dari gangguan pihak luar yang dapat merusak pola keadilan dan kelestarian lingkungan yang di tetapkan sera turun – termurun.
Menurut Marianus, pengukuran tanah Patiahu hingga menimbulkan konflik, bahkan sampai ada warga yang mengalami luka yang belum ada penyelesaiannya, harusnya aparat penegak hukum , karena itu Pemkab Sikka harus melindungi dan menghormati hak-hak masyarakat hukum adat, sesuai ketentuan pasal 188 ayat (2) UUD 1945.
“Atas dasar ini secara etika hukum, Pemkab Sikka dan aparat penegak hukum dapat menahan diri dan memberikan ruang penegakan hukum adat yang berlaku dalam wilayahnya tetapi bukannya terkesan masa bodoh,”kata Marianus.
Penegakkan hukum adat wajib memperhatikan beberapa instrumen hukum di sektor perkebunan, antara lain Pasal 5 dan Pasal 56 UU Pokok Agraria Jo. Pasal 6 Ayat (2) UU No. 39/1999 tentang HAM Jo. Pasal 12 Aya (1) UU No. 39/2014 tentang Perkebunan,jelas Marianus.
Dikatakan penyelesaian konflik antara masyarakat adat Patiahu Nangahale dan PT. Krisrama lanjut Marianus harusnya diselesaikan melalui mekanisme adat. Karena hukum adat mengutamakan prinsip kearifan lokal, keadilan sosial dan prinsip HAM. Sementara penyelesaian melalui hukum negara kerap ditempuh dengan cara-cara represif.
Dampaknya kata Marianus, banyak menelan korban, kekerasan, dan kriminalisasi masyarakat. Penyelesaian melalui mekanisme adat mestinya dipandang sebagai alternatif penegakan hukum atas konflik berkepanjangan terhadap tanah HGU Patiahu Nangahale. ( rel )